JAKARTA, KOMPAS – Komitmen untuk meningkatkan keselamatan kerja di sektor konstruksi dinilai membaik. Hal itu diindikasikan dari pengangkatan direktur keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 di jajaran direksi BUMN.
Agar komitmen terlaksana, kebijakan di tingkat direksi mesti dipastikan sampai di lapangan.
“Dengan adanya direktur K3 di setiap BUMN, kebijakan direksi akan bisa cepat dilaksanakan karena sudah ada direktur K3-nya. Sebelumnya, K3 berhenti di level manajer yang masih berjarak dengan direksi,” kata Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Indonesia (A2K4-Indonesia) Lazuardi Nurdin, Senin (18/6/2018), di Jakarta.
Setelah mengevaluasi kecelakaan kerja yang terjadi secara beruntun di beberapa proyek infrastruktur beberapa waktu lalu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat merekomendasikan dibentuknya unit khusus K3 sebagai bentuk komitmen terhadap keselamatan. Unit kerja tersebut bertanggung-jawab langsung kepada direktur utama.
Menurut Lazuardi, penambahan direktur K3 akan meningkatkan pelaksanaan K3 karena tanggung jawabnya sudah dipegang di level direksi. Agar kebijakan di level direksi bisa sampai ke pekerja di lapangan, maka komunikasi dan pengawasan hingga level bawah memegang peran penting.
“Secara struktural penambahan direktur K3 ini lebih memudahkan. Namun demikian, ujung tombaknya tetap adalah pekerja dan pengawas di lapangan,” ujar Lazuardi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR Syarif Burhanuddin mengatakan, perbaikan K3 mesti dilakukan secara menyeluruh. Selain memperbaiki secara teknis di lapangan, sisi organisasi penyedia jasa juga mesti dilakukan, salah satunya dengan menambah direktur K3. Mereka lah yang bertanggung-jawab terhadap aspek K3.
Menurut Syarif, K3 tidak hanya sekadar rencana di atas kertas, melainkan harus diterapkan di lapangan. Oleh karena itu, dalam penawaran lelang sebuah proyek, penyedia jasa mesti mencantumkan biaya K3.
“Persyaratannya. mereka harus punya tenaga ahli K3. Konsultan pun harus dilengkapi tenaga ahli K3. Tenaga ahli K3 itu menjadi prioritas bukan hanya sebagai slogan saja, tetapi harus benar-benar dilaksanakan,” kata Syarif.
Menurut Lazuardi, meskipun proses lelang proyek berorientasi pada harga terendah yang ditawarkan, kontraktor maupun konsultan tidak bisa lepas dari tanggung jawab untuk menyediakan biaya K3. Salah satu wujud biaya K3 adalah menyediakan alat pelindung diri untuk K3 di lokasi proyek.
Lazuardi menilai, untuk kontraktor besar, biasanya biaya K3 sudah dicantumkan di dokumen penawaran lelang. Namun demikian, bagi kontraktor menengah dan kontraktor kecil, bisa jadi tidak dicantumkan. Sebab, biaya K3 bisa jadi dianggap sebagai beban.
Sementara itu, Ketua Komisi V DPR RI dari Fraksi Gerindra Fary Djemy Francis mengatakan, pemerintah serius membenahi dan meningkatkan K3 di sektor konstruksi. Hal itu ditandai dengan dilakukannya moratorium dan evaluasi terhadap seluruh proyek-proyek infrastruktur.
Namun, lanjut Fary, pembenahan yang sudah dimulai di level atas tersebut mesti dilaksanakan di lapangan. Tenaga kerja konstruksi mesti dipastikan selalu mengikuti prosedur yang sesuai dengan K3. “Pelaksanaan di lapangan harus serius. Kualitas pekerjanya mesti ditingkatkan,” kata Fary.