Sekitar 4,5 tahun lalu, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian disahkan. UU itu menggantikan UU Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang dinilai sudah tidak sesuai perubahan paradigma pembangunan industri.
Alasan yang logis. Sebab, dalam 30 tahun sejak UU Perindustrian lama tersebut diundangkan, tentu banyak dinamika dan perubahan yang terjadi. Tantangan dan peluang bermunculan seiring perkembangan zaman, tak terkecuali yang bersinggungan dengan aspek lingkungan.
Industri hijau merupakan salah satu hal yang mendapat tempat penting di UU Perindustrian baru. Pasal 3 UU 3/2014 yang dikutip Kompas, Senin (18/6/2018), menunjukkan, pasar itu mengatur perwujudan industri hijau sebagai salah satu tujuan penyelenggaraan perindustrian di Tanah Air.
Regulasi tentang perindustrian menyebutkan, industri hijau sebagai industri yang dalam proses produksinya mengutamakan upaya efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya secara berkelanjutan. Dengan demikian, pembangunan industri bisa selaras dengan kelestarian fungsi lingkungan hidup dan bermanfaat bagi masyarakat.
Kalangan dunia usaha menilai penerapan industri hijau sudah menjadi tuntutan dalam praktik hubungan bisnis di kancah perdagangan internasional. Perusahaan yang sudah menerapkan nilai-nilai dan memenuhi kriteria industri hijau diyakini akan lebih berpeluang memenangkan persaingan bisnis global.
"Perusahaan tersebut akan mempunyai posisi tawar yang lebih tinggi," kata Ketua Umum Himpunan Kawasan Industri Indonesia Sanny Iskandar di Jakarta, Minggu (17/6/2018).
Menurut Sanny, keunggulan posisi tawar itu diperoleh, baik dari sisi produsen yang menetapkan kriteria bagi para pemasok maupun dari sisi konsumen sebagai penentu produk yang akan dibeli.
Pemerintah, sejak beberapa tahun lalu, sudah menengarai beberapa negara menjadikan penerapan industri hijau sebagai instrumen hambatan nontarif bagi produk-produk yang akan masuk ke pasar mereka.
Kini pemerintah gencar mendorong konsep ekonomi sirkular dengan prinsip yang dikenal sebagai 5R. "Prinsip ini antara lain dilakukan melalui reduce atau pengurangan pemakaian material mentah dari alam," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara.
Selain itu, juga melalui prinsip reuse atau optimasi penggunaan material yang dapat digunakan kembali, daur ulang (recycle), perolehan kembali (recovery), dan perbaikan (repair). Melalui prinsip-prinsip tersebut ekstraksi material mentah dari alam jauh lebih efektif dan efisien. Selain itu limbah juga dapat dikurangi.
"Pada triwulan I-2018, industri pengolahan merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto dengan sumbangan mencapai 20,2 persen terhadap total PDB nasional,” ujar Ngakan.
Menimbang hal ini, ada asa agar sektor manufaktur mampu berdampak luas dalam mentransformasi ekonomi nasional menuju ekonomi sirkular. Di titik ini penerapan industri hijau berpotensi mengarahkan pencapaian harapan itu.