JAKARTA, KOMPAS--Pelaku industri mencermati arah kebijakan Bank Indonesia yang menyatakan siap menaikkan suku bunga acuannya. Sejumlah aspek diperhatikan, di antaranya daya beli domestik dan perbandingan daya saing industri.
Saat ini, suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 4,75 persen.
"Dengan menaikkan suku bunga acuan kan, harapannya untuk menahan dana agar tidak lari sehingga nilai tukar rupiah terjaga. Kami dari pelaku industri masih melihat seberapa basis poin peningkatannya," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia Fajar Budiono ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (20/6/2018).
Diperkirakan, perbankan akan mentransmisikan kenaikan suku bunga acuan BI tersebut ke suku bunga kredit. Menurut Fajar, pelaku industri tidak akan serta-merta meneruskan beban dari suku bunga kredit itu ke harga jual produk. Sebab, industri mempertimbangkan faktor daya beli masyarakat. "Pasti akan ada dampak ke sektor industri. Jadi, tinggal BI memberi dosis kenaikan yang pas saja agar tercapai keseimbangan dengan kekuatan daya beli," kata Fajar.
Sekretaris Jenderal Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia Abdul Sobur berpendapat, seharusnya suku bunga bank di RI mengacu pada negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara.
"Selama ini beberapa negara di ASEAN malah berusaha menurunkan suku bunga supaya mereka bisa mengimbangi kondisi persaingan global. Uang harus diserap di industri sehingga bunganya harus turun," ujarnya.
Menurut Abdul Sobur, semua komponen biaya produksi, termasuk suku bunga pembiayaan, harus direduksi agar industri menjadi lebih kompetitif. "Sebab kalau bunganya mahal otomatis industri tidak kompetitif. Di ASEAN, suku bunga kita terbilang paling mahal," katanya.
Ketua Umum DPP Indonesia National Shipowners\' Association (INSA) Carmelita Hartoto mengatakan, saat ini tidak banyak industri pelayaran yang memanfaatkan kredit perbankan, karena perbankan tidak terlalu suka membiayai pelayaran.
"Bank lebih memilih membiayai proyek properti. Mereka baru bersedia membiayai pembangunan kapal kalau ada kontrak atau dijamin korporasi," katanya.
Selain itu, tambah Carmelita, suku bunga yang ditetapkan perbankan Indonesia sangat tinggi dibandingkan dengan negara lain. "Jadi yang bisa hidup di industri maritim hanya perusahaan-perusahaan besar yang bisa membiayai dirinya sendiri. Bunga bank yang besar hanya membuat industri maritim kecil gulung tikar," ujar dia.
Carmelita mengatakan, INSA telah berkomunikasi dengan BI untuk mulai membahas masalah ini. Tujuannya, mendorong pertumbuhan industri maritim, khususnya pelayaran.
Respons
Sementara itu, peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra PG Talattov menuturkan, langkah Bank Sentral Amerika Serikat, the Fed, yang pekan lalu menaikkan suku bunga acuannya mau tidak mau direspons BI. Respons itu bisa dengan menaikkan suku bunga acuan untuk mencegah modal keluar dari pasar keuangan RI.
"Memang ada implikasinya terhadap kredit. Kalau BI menaikkan suku bunga, mau tidak mau juga akan direspons perbankan dengan menaikkan suku bunga kredit, baik kredit investasi, modal kerja, maupun kredit konsumsi," katanya.