Dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional atau RUEN, kebutuhan bahan bakar minyak mencapai 1,76 juta barrel per hari pada 2025. Saat ini, kebutuhannya sekitar 1,6 juta barrel per hari, yang sekitar 52 persennya diimpor. Bahan bakar perlu diimpor lantaran kemampuan kilang di dalam negeri terbatas.
Saat ini, produksi kilang di dalam negeri hanya mampu mencukupi separuh dari kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) nasional. Indonesia sudah lama tidak membangun kilang di tengah konsumsi BBM yang terus meningkat. Terakhir kali dibangun pada 1997, yaitu kilang Balongan di Jawa Barat.
Sebagai negara yang kebutuhan BBM-nya lebih banyak dari kemampuannya memproduksi, pembangunan kilang menjadi keharusan. Kabar baik muncul di masa pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Melalui PT Pertamina (Persero), dua kilang baru direncanakan untuk dibangun dan kapasitas empat kilang yang ada ditingkatkan. Pertamina menamakan program ini Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Gross Root Refinery (GRR). Harapannya, produksi BBM dari mega proyek itu bisa mencapai 2 juta barrel per hari pada 2025.
Mantan Direktur Utama Pertamina Elia Massa Manik, kepada Kompas, pernah mengatakan, ada pihak-pihak tertentu yang tak senang Indonesia membangun kilang minyak baru. Para pihak itu selama ini hidup dari memburu rente impor BBM dan minyak mentah. Selain itu, lanjut Massa, membangun kilang kerap diwarnai informasi yang keliru, seperti perlu biaya besar dan keuntungan yang didapat sangat kecil. Ringkasnya, membangun kilang tidak terlalu efisien.
Begitulah tantangan-tantangan non teknis yang dihadapi Pertamina dengan mega proyeknya itu.
Lalu, apa kabar pembangunan kilang? Dalam paparan di Komisi VII DPR beberapa waktu lalu, Pertamina menyebutkan, program RDMP dan GRR sedang dalam proses. Secara fisik, memang belum menunjukkan kemajuan signifikan. Adapun dari sisi biaya, seluruh program RDMP dan GRR diperkirakan menelan investasi Rp 500 triliun. Tentu bukan angka yang kecil, bahkan bagi Pertamina sekali pun. Apalagi, Pertamina mesti mengencangkan ikat pinggang dari bisnis penjualan premium dan solar bersubsidi yang merugi.
Target penyelesaian proyek itu pun mundur, dari semula pada 2023 menjadi 2025. Sejumlah hal yang menjadi kendala antara lain pembebasan lahan dan masalah adminsistrasi dalam hal pemilihan mitra proyek.
Apapun situasinya, program RDMP dan GRR harus terus dikawal. Ini adalah program strategis yang menyangkut ketahanan energi Indonesia. Apalagi, Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) memasukkan program RDMP dan GRR sebagai proyek strategis nasional. Sekali lagi, proyek ini harus benar-benar terealisasi.
Sebagai negara yang perekonomiannya berkembang dan penduduknya bertambah, kebutuhan energi menjadi vital. Setelah menjadi negara pengimpor bersih minyak pada 2004, Indonesia diperkirakan menyandang predikat tambahan, yaitu pengimpor minyak dan gas bumi.
Memiliki kilang minyak yang memadai bisa sedikit mengurangi ketergantungan pada impor BBM. Membeli minyak mentah (bahan baku) akan lebih murah ketimbang membeli BBM (bahan jadi). Praktik pemburu rente dari impor BBM juga bisa ditekan. Pemimpin negeri ini, bersama Pertamina dan didukung kekuatan politik dari Senayan, wajib meneguhkan niat agar pembangunan kilang benar-benar terwujud.