Terkuaknya operasi perusahaan konsultan komunikasi Cambridge Analytica membuat publik makin memahami operasi psikologis (psychological operation) di era digital. Pada masa lalu, operasi psikologis yang dilakukan militer dengan sebutan propaganda menggunakan media, dari mulai selebaran, pamflet, hingga radio. Kini operasi ini menggunakan media sosial. Perusahaan pun menggunakan cara ini untuk memasarkan produk agar tepat sasaran.
Operasi psikologis dilakukan untuk mendapatkan reaksi balik yang diharapkan dari lawan di kalangan militer. Mereka menggunakan berbagai media, hingga ketika muncul media sosial, mereka juga masuk ke dunia media sosial dengan membangun satuan propaganda di media sosial. Cara-cara mereka yang efektif banyak dikembangkan di dunia bisnis, terutama dalam pemasaran produk.
Keunggulan teknik ini adalah mereka bisa menyasar target dengan akurat dan memasok informasi yang bisa mengubah perilaku atau pilihan konsumen.
Di dalam dunia bisnis, ilmu yang mempelajari mengenai hal ini adalah psikologi bisnis. Di dalamnya terdapat antara lain tentang perilaku konsumen, pengambilan keputusan, strategi, dan lain-lain. Perusahaan akan mempelajari perilaku konsumen agar produknya bisa diterima, dan bila puas, konsumen diharapkan tetap milih produk itu secara terus-menerus.
Pada era digital, pemetaan perilaku konsumen dengan mudah dilakukan dengan memantau media sosial. Prinsipnya, kondisi psikologi pemilik akun dengan mudah tersebar melalui media sosial. Bahkan, perilaku di media sosial adalah sama dengan perilaku di dunia nyata. Bacaan yang kita konsumsi dan berita yang dibagikan di media sosial adalah cerminan perilaku pemilik akun.
Media sosial juga memudahkan kita untuk bertemu dengan orang yang memiliki kesamaan sehingga muncul istilah “me too” (saya juga). Orang-orang ini mudah sekali membagikan unggahan kita di media sosial hingga mencapai sasaran yang sama atau memiliki pandangan yang sama. Untuk itu, ketika perusahaan hendak meluncurkan produk, mereka harus memahami orang-orang yang potensial berada di dalam satu “kendaraan” yang sama terlebih dahulu untuk memengaruhi orang lain secara lebih luas.
Digital Marketing Institute Limited yang mengutip studi The New York Times memaparkan, membagikan konten di media sosial disebut sebagai bagian dari pemenuhan diri dan sebagai bagian dari upaya untuk membangun relasi. Tidak mengherankan jika motivasi membagikan konten di media sosial adalah sebanyak 84 persen untuk mendukung sebuah gerakan, 78 persen untuk menjaga tetap terhubung, dan beberapa alasan lainnya.
Dengan melihat kenyataan itu, perusahaan yang melakukan pemasaran harus membuat konten yang menawarkan suatu nilai. Mereka harus membuat konten-konten yang mampu menolong seseorang untuk mendefinisikan siapa dirinya, seperti konten yang mendidik dan mempunyai makna kuat. Perusahaan harus mencari cara agar konten-konten yang dibagikan bisa membuat orang merasa terlibat atau berada bersama merek perusahaan.
Langkah berikutnya, melihat kenyataan di media sosial di mana para pengguna media sosial makin memperlihatkan mereka suka membicarakan diri mereka sendiri. Tak mengherankan, mereka akan berbicara tentang diri mereka sendiri melampaui persoalan uang. Bagi perusahaan, sebaiknya mereka menghentikan pembicaraan tentang merek dan produknya di media sosial. Perusahaan harus berbicara dengan publik dan mendengarkan keinginan dan kebutuhan mereka.
Semua ini sebenarnya adalah operasi psikologis. Cara-cara pemasaran yang massal dan mengkampanyekan produk secara langsung makin tidak efektif.
Pengembangkan operasi psikologis dengan bantuan media sosial semakin memungkinkan pemasar menarget para calon konsumen secara personal dan akurat.