Wangi Bunga-bunga Aceh
Berawal dari penasaran, kemudian tertantang. Daudi Sukma lantas melakukan serangkaian uji coba. Uji cobanya berhasil. Ekstrak bunga-bunga lokal di Aceh menjadi aroma pewangi. Temuan itu diberi nama minyak semprot, yang dalam bahasa Aceh dinamai Minyeuk Pret.
Aroma bunga menguar dari ruangan ukuran empat meter kali empat meter di rumah permanen di Desa Lam Ara, Kecamatan Baiturrahman, Banda Aceh, Provinsi Aceh. Ruangan bekas garasi mobil itu adalah kedai parfum Minyeuk Pret milik Daudi Sukma.
Parfum produksi Daudi tergolong istimewa karena aromanya dari bunga-bunga lokal di Aceh yang sudah menjadi ikon daerah seperti seulanga, meulu, dan kopi. Di Aceh, aroma bunga khas itu identik dengan kemeriahan.
“Bulan Maret lalu kami meluncurkan dua varian baru, aroma sanger espresso dan aroma jeumpa. Jadi totalnya ada lima varian aroma,” kata Daudi di Banda Aceh, beberapa waktu lalu.
Kelima pilihan aroma adalah kopi, meulu, seulanga, sanger espresso, dan jeumpa.
Pada awal 2014, Daudi dan teman-temannya, yakni Fajar Sukma, Teuku Muda Surmansyah, dan Bismi Farhan -yang kini memiliki saham pada usaha Minyeuk Pret- minum kopi di sebuah kedai di Banda Aceh. Layaknya obrolan kedai kopi, materi pembicaraan mereka melompat-lompat ke berbagai topik.
Tiba-tiba pembicaraan mengarah pada parfum. Daudi melempar wacana mengapa Perancis menjadi produsen parfum terbaik dunia. Padahal sebagian bahan dasarnya ada di Aceh, yaitu minyak nilam atau atsiri.
Minyak nilam yang disebut juga patchouli oil merupakan bahan dasar pembuatan parfum. Minyak nilam berfungsi untuk mengikat aroma agar tahan lama. Di pasar global, minyak nilam dari Aceh tergolong kualitas kelas satu.
“Kita punya bahan baku, tapi mengapa tidak punya produk parfum. Sementara banyak bahan baku lain yang bisa dijadikan parfum,” kata Daudi, menyuarakan rasa penasarannya.
Daudi lantas mengajak rekan-rekannya untuk mencoba membuat parfum dari bunga-bunga lokal, seperti seulanga, jeumpa, dan meulu. Tantangan itu ditanggapi rekan-rekannya dengan serius.
Seusai diskusi di kedai kopi itu, Daudi mulai mencari informasi tentang cara melakukan destilasi atau penyulingan. Dia juga mencari informasi di Youtube. Butuh waktu setengah tahun untuk memperoleh hasil yang memuaskan.
Dia membeli bunga seulanga dari masyarakat. Bunga itu kemudian diproses secara kimiawi -atau disebut destilasi- untuk menghasilkan esensial atau minyak murni dari bunga seulanga. Minyak bunga itu kemudian dicampur dengan etanol, minyak nilam, dan beberapa komponen lain. Campuran bahan-bahan tersebut menjadi parfum.
Modal awal usaha parfum itu Rp 60 juta. Uang sebesar itu digunakan untuk pembelian bahan baku, perlengkapan penyulingan, botol, kemasan, dan perlengkapan lain. Saat ini Minyeuk Pret mempekerjakan 11 karyawan.
Survei pasar
Sebelum dirilis, Daudi lebih dulu melakukan survei pasar. Dia membawa contoh parfum ke kedai-kedai kopi dan meminta orang untuk mencoba parfumnya.
Dari 11 varian yang ditawarkan, tiga di antaranya paling banyak digemari, yakni seulanga, meulu, dan kopi.
Minyeuk Pret dirilis untuk pertama kalinya pada 1 April 2015. Hanya dalam delapan jam, sebanyak 1.000 botol ukuran 30 mililliter (ml) ludes terjual saat itu. Harga Minyeuk Pret berukuran 30 ml sebesar Rp 110.000.
“Tidak cukup barang yang tersedia. Sebagian terpaksa menunggu produksi selanjutnya,” kata Daudi.
Aroma bunga seulanga terasa lebih lembut daripada bunga meulu. Kedua varian ini sangat cocok untuk perempuan. Adapun aroma kopi terkesan sangat maskulin. Meski demikian, wewangian adalah soal selera. Banyak juga perempuan yang memilih aroma kopi.
Kini, dalam sebulan, Minyeuk Pret diproduksi 15.000 botol berukuran 30 ml. Minyeuk Pret dijual secara konvensional dan secara dalam jaringan (daring). Minyeuk Pret kerap dijadikan buah tangan oleh wisatawan yang berkunjung ke Aceh.
Adapun pembeli dari luar negeri, Daudi mengaku sudah ada.
“Namun, kami belum ekspor karena belum mampu memenuhi produksi,” katanya.
Daudi beralasan, Minyeuk Pret masih berupa usaha skala menengah. Untuk kebutuhan ekspor setidaknya perlu produksi 126.000 botol untuk setiap kali ekspor.
Mimpinya yang lain adalah aroma bunga-bunga Aceh menjadi bagian dari keseharian warga dunia
“Mudah-mudahan suatu saat kami bisa mengekspor Minyeuk Pret. Saya mengklaim Minyeuk Pret adalah parfum original pertama dari Aceh,” tambah Daudi.
Seiring penjualan yang meningkat, dibutuhkan bahan baku minyak esensial yang lebih banyak. Untuk itu, Daudi bekerja sama dengan perusahaan lain yang memasuk minyak esensial ekstrak bunga seulanga, meulu, dan lainnya. Kerja sama itu mesti dilakukan, karena Minyeuk Pret tidak mampu memproduksi sendiri seluruh bahan baku itu dalam jumlah besar.
Namun, proses pengolahan bahan baku menjadi parfum tetap dilakukan di tempat usahanya sendiri. Proses pencampuran esensial bunga dengan bahan baku lain itu diawasi Daudi dengan ketat.
Daudi bermimpi, suatu saat bisa membangun usaha parfum itu dalam skala yang besar. Salah satu mimpinya adalah memilik pabrik produksi parfum Minyeuk Pret. Mimpinya yang lain adalah aroma bunga-bunga Aceh menjadi bagian dari keseharian warga dunia. Daudi membuka diri bagi pihak lain untuk bekerja sama. Baginya, prinsip dalam berusaha adalah usahanya harus bermanfaat bagi orang lain.