JAKARTA, KOMPAS - Kalangan pelaku industri keramik di Indonesia mengajukan perlindungan perdagangan. Hal ini dilakukan menyikapi kecenderungan lonjakan importasi keramik.
"Saat ini persoalan tersebut masih dibahas di komite antidumping Indonesia," kata Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustria Achmad Sigit Dwiwahjono ketika dihubungi di Jakarta, Minggu (24/6/2018).
Menurut Achmad Sigit, pengajuan perlindungan perdagangan oleh pelaku industri keramik dalam negeri tersebut memiliki alasan kuat. "Dalam beberapa tahun, utilisasi industri keramik nasional turun dari 80 persen menjadi 60 persen," katanya.
Selain itu, tambah Achmad Sigit, peringkat industri keramik Indonesia di dunia turun dari nomor empat ke nomor delapan. "Beberapa alternatif sudah kami diskusikan dengan Kementerian Perdagangan, semisal melalui kuota," katanya.
Adapun alternatif lain adalah pengaturan pelabuhan masuk di luar Jawa agar barang impor tidak langsung masuk ke pasar.
Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Elisa Sinaga ketika dihubungi di Jakarta, secara terpisah, menuturkan, impor keramik naik dari tahun ke tahun. Ia memperkirakan, kebutuhan keramik dalam negeri saat ini sekitar 400 juta meter persegi, yang sekitar 20 persen di antaranya diisi produk impor. "Tren volume impor tiap tahun meningkat rata-rata 22 persen," katanya.
Semenjak bea masuk keramik diturunkan dari 20 persen menjadi 5 persen, Elisa menduga, volume impor keramik dari China akan naik 30-40 persen.
Menurut Elisa, keramik impor yang terus masuk semakin memberatkan industri keramik dalam negeri. Apalagi industri keramik dalam negeri hingga saat ini masih terbebani harga gas industri yang tinggi.
"Memang harus diakui keramik impor lebih murah sedikit karena di China diberlakukan insentif fiskal sebesar 17 persen yang bisa diklaim begitu ekspor dikirim," katanya.
Elisa menuturkan, pelaku industri keramik di Indonesia meminta pemerintah mengawasi barang sebelum dikirim. Artinya kualitas barang yang akan dikirim ke Indonesia betul-betul dicek agar setara dengan di dalam negeri.
"Jangan sampai harganya lebih murah tetapi kualitasnya belum tentu baik. Kalau sudah sampai di Indonesia pemeriksaan kualitas barang hampir tidak mungkin karena tidak punya peralatan lengkap di tiap pelabuhan," kata Elisa.
Demikian pula ada pengaruhnya ke lama tunggu di pelabuhan. Dengan demikian, menurut Elisa, pemeriksaan kualitas barang paling cocok dilakukan sebelum barang dikirim, yakni di negara asal.