A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
·4 menit baca
”Langit perekonomian global kini kian mendung”, demikian kalimat kiasan yang akhir-akhir ini sering diucapkan pemimpin Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde, menggambarkan kondisi perekonomian global yang dilanda perang dagang (CNN, 12/6/2018). Proteksionisme menjadi awan tergelap yang memayungi horizon perekonomian dunia.
Padahal, lanjut Lagarde, perekonomian dunia belakangan ini sedang dalam arah yang benar setelah 10 tahun silam terjerumus dalam krisis finansial global (krisis subprime mortgage) pada 2008-2009. IMF memproyeksikan perekonomian global tumbuh 3,9 persen tahun ini, tertinggi sejak 2011. Namun, membaiknya perekonomian global terusik perang dagang AS, yang dipicu defisit besar perdagangan AS terhadap China, 375 miliar dollar AS (2017). Ekspor AS ke China hanya 130 miliar dollar AS, sedangkan impornya 505 miliar dollar AS.
AS baru saja mengumumkan tarif 50 miliar dollar AS terhadap China, serta terhadap mitra dagang utamanya, yakni Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada.
Praktik perdagangan yang tidak adil ini dengan cepat menimbulkan aksi balasan. Perang tarif pun tak terhindarkan dan bisa menjalar ke seluruh dunia. Perekonomian dunia akan dilanda inefisiensi karena konsumen akan membayar lebih mahal terhadap barang-barang yang mereka beli.
Lagarde menambahkan, langit perekonomian kian berawan tatkala proteksionisme AS ini juga diikuti (1) pengetatan moneter, yaitu kenaikan suku bunga AS; (2) utang luar negeri yang meningkat di negara-negara emerging markets; (3) stimulus fiskal AS mulai berkurang; serta (4) perlambatan pertumbuhan ekonomi China yang masih berlanjut (Bloomberg, 25/5/2018).
Isu-isu strategis juga berlaku bagi Indonesia, misalnya utang luar negeri Indonesia, yang 357 miliar dollar AS, dalam kurs rupiah terakhir ekuivalen Rp 5.000 triliun. Secara psikologis, angka ini tampak menyeramkan, tetapi sebenarnya relatif masih aman karena masih 36 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), dari batas atas aman 60 persen. Saat ini PDB kita di atas Rp 14.000 triliun sehingga termasuk dalam kelompok negara dengan PDB triliunan dollar AS, yang di seluruh dunia hanya ada 16 negara.
”Mendung” terbesar bagi Indonesia saat ini adalah depresiasi rupiah yang dipicu kenaikan suku bunga acuan AS, yang saat ini 2 persen. Tahun ini bank sentral AS, The Fed, diwacanakan hendak menaikkan dua kali lagi menjadi 2,50 persen. Sebenarnya kebijakan The Fed itu kontraproduktif dengan upaya memangkas defisit perdagangan AS. Defisit perdagangan AS mencapai 580 miliar dollar AS, yang tidak akan terbantu penguatan dollar AS.
Konflik kepentingan
Sebenarnya terjadi konflik kepentingan antara menaikkan suku bunga dan menekan defisit perdagangan AS. Keduanya tidak sinkron. Ketua The Fed seharusnya mengevaluasi rencana kenaikan suku bunga yang agresif tahun ini.
Yang diperlukan adalah gradualisme, kenaikan bertahap. Suku bunga acuan 2,5 persen tidak harus segera direalisasikan tahun ini. Ketua The Fed Jerome Powell seharusnya mengulur ke tahun depan, tidak perlu terburu-buru. Untuk apa?
Kenaikan suku bunga The Fed terbaru yang dilakukan pada saat Indonesia tengah libur Lebaran menyebabkan rupiah kembali di atas Rp 14.000 per dollar AS. Oleh karena itu, menjelang rapat dewan gubernur (RDG) pada 27-28 Juni ini, Bank Indonesia pasti akan memantau perkembangan rupiah. Jika nilai tukar rupiah masih lebih lemah dari level fundamennya, pasti BI akan menaikkan suku bunga acuannya menjadi 5 persen.
Pada posisi suku bunga acuan saat ini 4,75 persen, banyak pemilik likuiditas (penabung) yang kurang nyaman karena selisihnya terlalu tipis terhadap ekspektasi inflasi 4 persen. Pasar uang di Indonesia belum terbiasa dengan situasi suku bunga acuan dengan inflasi berbeda tipis.
Banyak kritik terhadap kenaikan suku bunga BI, terutama dikaitkan dengan ekspansi kredit perbankan yang lemah. BI tampaknya menyiapkan ”bantalannya”, yakni relaksasi LTV (loan to value). Kebijakan ini prinsipnya memberikan kemudahan kepada konsumen memiliki lebih sedikit uang muka untuk membeli secara kredit properti dan kendaraan. Relaksasi LTV diharapkan mendorong konsumen mengeksekusi rencana belanja.
Jadi, kebijakan BI nanti harus beriringan antara kenaikan suku bunga dan relaksasi LTV. Kenaikan suku bunga dimaksudkan untuk menahan valuta asing tidak kabur dari Indonesia, yang menyebabkan penurunan cadangan devisa (kini 122 miliar dollar AS). Kebijakan ini pasti akan berdampak negatif pada ekspansi kredit di industri perbankan. Untuk menolongnya, relaksasi LTV merupakan salah satu ”bantal”-nya kendati tidak terlalu empuk.
Stabilitas rupiah merupakan prioritas tertinggi saat ini, melebihi yang lain. Sebab, rupiah yang terdepresiasi terlalu besar dapat mengganggu kepercayaan pasar terhadap fundamen ekonomi, menyusahkan pembayaran utang luar negeri, menaikkan inflasi yang berasal dari barang dan jasa impor, dan tidak otomatis bisa menaikkan ekspor (bergantung pada elastisitas permintaan barang-barang ekspor kita).
Semoga awan perekonomian global tidak menjadi kian gulita sebagaimana dikhawatirkan Christine Lagarde. Pengendalian diri dan kesabaran negara-negara kunci, seperti AS dan China, dalam perang dagang dan pengetatan moneter akan menjadi faktor penentunya. Posisi Indonesia berada pada pendulum ini.