JAKARTA, KOMPAS — Pengembang perumahan menyiapkan strategi pemasaran untuk menarik konsumen. Peluang untuk menarik konsumen ada di pembelian rumah pertama.
Strategi itu disiapkan jika Bank Indonesia benar-benar menaikkan suku bunga acuan BI atau BI 7-Day Reverse Repo Rate dalam Rapat Dewan Gubernur pekan ini. BI sudah menaikkan suku bunga acuan 50 basis poin atau 0,5 persen pada Mei.
”Tetapi, saya kira apa yang dilakukan BI sudah benar. Mulai sekarang kita harus terbiasa dengan keadaan normal yang baru di mana bunga tidak serendah seperti pada 2010-2015,” kata Direktur Grup Ciputra Harun Hajadi, Senin (25/6/2018).
Menurut Harun, BI menghadapi dilema antara menaikkan suku bunga untuk menjaga rupiah agar tidak terdepresiasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Sinyal BI untuk menaikkan lagi suku bunga acuan diimbangi dengan relaksasi rasio pinjaman terhadap aset (LTV) untuk properti.
Menurut Harun, relaksasi LTV akan membantu industri properti, terutama bagi pembeli rumah pertama. Sebab, masih banyak masyarakat yang kesulitan menyediakan uang muka untuk membeli rumah.
Dalam tiga tahun terakhir, BI telah dua kali melonggarkan LTV, yakni pada 2015 menjadi 80 persen dan pada 2016 menjadi 85 persen. ”Dulu, pernah LTV rumah pertama 70 persen dan industri properti mandek,” ujar Harun.
Ia melanjutkan, pengembang mesti jeli membidik pasar dan membuat produk properti yang inovatif. Grup Ciputra melakukan hal itu sehingga penjualan tahun lalu tumbuh 7 persen dibandingkan dengan 2016. Sampai dengan akhir Mei 2018, penjualan masih tumbuh di atas 20 persen dibandingkan dengan tahun lalu.
Secara terpisah, Assistant Vice President Marketing PT Agung Podomoro Land Tbk Alvin Andronicus berpendapat, pengembang mesti punya strategi untuk menghadapi situasi saat ini. Sebab, kenaikan suku bunga acuan BI akan berdampak pada kenaikan harga sebagian bahan bangunan. Padahal, sektor properti belum pulih sepenuhnya dari dampak pelambatan ekonomi.
”Tidak mungkin bagi pengembang menaikkan harga di tengah situasi pasar yang belum pulih,” katanya.
Alvin mengapresiasi rencana relaksasi LTV hingga 100 persen untuk pembeli rumah pertama. Kebijakan itu bisa mendorong daya beli, terutama bagi pembeli rumah pertama.
Stabilitas
Ekonom PT Bank Permata Tbk, Josua Pardede, mengatakan, BI diperkirakan tetap mendorong stabilitas makroekonomi, khususnya stabilitas nilai tukar rupiah dalam jangka pendek. BI juga akan mempertimbangkan kebijakan yang preemtif dalam merespons perkembangan setelah kenaikan suku bunga Bank Sentral AS pada 13-14 Juni lalu.
Jika nilai tukar rupiah cenderung melemah dalam jangka pendek, BI berpotensi kembali memperketat kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga acuan BI. Kenaikan suku bunga acuan itu selanjutnya akan direspons perbankan dengan menaikkan suku bunga simpanan dan kredit.
”Penyesuaian suku bunga perbankan pasti akan dipengaruhi kondisi likuiditas, risiko kredit, dan beban biaya. Jika likuiditas terjaga, indikator rasio kredit macet trennya turun, dan perbankan terus melakukan efisiensi, tentu kenaikan suku bunga perbankan tidak selalu sebesar kenaikan suku bunga acuan BI,” katanya.
Menurut Josua, BI juga akan mengoptimalkan bauran kebijakannya dengan melonggarkan kembali kebijakan makroprudensial. Tujuannya, mendorong permintaan kredit perbankan, khususnya kredit konsumsi.