JAKARTA, KOMPAS--Langkah menaikkan suku bunga acuan merupakan hal yang dilematis. Akan tetapi, langkah itu bisa dipahami, sebagai cara menjaga stabilitas nilai tukar rupiah.
Pelaku industri bisa memahami langkah itu. Sebab, industri juga memerlukan stabilitas nilai tukar rupiah.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (26/6/2018), nilai tukar rupiah Rp 14.163 per dollar AS.
"Ini memang dilematis. Kalau tidak dinaikkan, pelemahan rupiah akan jadi ancaman dalam situasi dan kondisi global seperti sekarang," kata Executive Director of Indonesian Iron and Steel Industry Association, Hidayat Triseputro, di Jakarta.
Menurut Hidayat, pelaku industri mengutamakan stabilitas. Nilai tukar rupiah yang fluktuatif akan sulit diprediksi sehingga menyulitkan perencanaan pengadaan bahan baku. Apalagi, sekitar 70 persen bahan baku yang dibutuhkan industri masih diimpor.
Nilai tukar rupiah yang fluktuatif juga menyulitkan rencana penjualan produk. "Pelemahan rupiah tidak linier dengan kenaikan harga jual dalam rupiah karena daya beli pasar ada batasnya. Ini yang menyulitkan," kata Hidayat.
Terkait hal tersebut, stabilitas lebih diutamakan pada level nilai rupiah yang masuk akal. Dengan demikian, rencana kenaikan suku bunga dalam upaya menjaga stabilitas rupiah tersebut bisa dipahami.
Hidayat menuturkan, pelaku industri baja akan menyambut gembira setiap langkah BI yang dapat mendorong pertumbuhan sektor properti.
"Sebab, kalau properti tumbuh, kebutuhan baja di dalam negeri pun akan ikut tumbuh," kata Hidayat.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo memberi sinyal kenaikan suku bunga acuan dalam Rapat Dewan Gubernur BI pekan ini. Namun, ia juga menyatakan akan mengimbangi dengan bauran kebijakan berupa relaksasi aturan rasio pinjaman terhadap kredit (LTV) sektor properti.
Menurut data Kementerian Perindustrian, sektor infrastruktur dan konstruksi merupakan konsumen utama produk baja, yakni 80 persen dari total permintaan domestik atau setara 9,6 juta ton per tahun.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia Elisa Sinaga menuturkan, penjualan keramik sangat dipengaruhi pertumbuhan sektor properti. Kebutuhan keramik di Indonesia pernah memuncak pada 2012, yakni mencapai 530 juta meter persegi.
Namun, kebutuhan itu berkurang seiring pertumbuhan sektor properti yang menurun sehingga kebutuhan keramik dalam negeri tinggal sekitar 400 juta meter persegi.
"Kami meminta BI mencermati betul kondisi seperti ini, jangan sampai menghambat pertumbuhan properti," katanya.
Apalagi, tutur Elisa, properti termasuk pusat atau sentral penggerak perekonomian termasuk di industri manufaktur.