Penenun Pun Kembali ke Alam
Nenek moyang kita sudah mengenal sekurangnya-kurangnya 75 jenis tumbuhan yang dapat dijadikan sebagai sumber pewarna alami. Pewarna alami itu kemudian digunakan sebagai pewarna tekstil, yang kemudian menjadi salah satu penanda kekayaan budaya kita.
Salah satu tumbuhan yang digunakan adalah nila atau tarum (Indigofera tinctoria L). Tanaman nila atau tarum ini dianggap sangat penting. Bahkan, pemerintah kolonial Belanda menyelenggarakan tanam paksa untuk komoditas nila.
Tanam paksa nila yang dilakukan pada tahun 1830-1850 akhirnya menjadikan Hindia Belanda sebagai pengekspor indigo terbesar di dunia pada masa itu. Uang yang didapatkan di antaranya untuk membantu pembangunan kota-kota di Belanda, yang ratusan tahun kemudian kita kagumi.
Inovasi pun bermunculan seiring perkembangan hidup manusia, termasuk di antaranya penemuan zat pewarna sintetis oleh William Henry Perkins. Dia menemukan zat pewarna sintetis pada tahun 1856 di usianya yang ke-18.
Dengan pewarna sintetis, pewarnaan yang tadinya panjang dapat dipersingkat. Apabila dengan pewarna alam, benang yang akan ditenun memerlukan 20-30 kali proses pencelupan. Namun, dengan pewarna sintetis, proses ini menjadi lebih singkat menjadi hanya 2-3 kali.
Seiring dengan perkembangan, benang kapas digantikan dengan benang pabrik yang biasa disebut benang toko. Pewarna pun beralih menjadi pewarna sintetis.
Menggunakan zat pewarna sintetis lebih praktis, warnanya pun lebih terang. Namun, pewarna sintetis itu sebagian besar luntur ketika kain dicuci, sementara pewarna alami tidak luntur.
Tidak luntur
”Dengan pewarna alam ini tidak akan luntur, coba deh, ini ada air, coba saja dioleskan ke kain, pasti tidak luntur,” kata Suwini, penenun dari desa Batutulis, Lombok, di sela-sela Pameran Adiwastra di Jakarta, pertengahan Juni 2018. Dia berupaya meyakinkan bahwa tenunannya tidak luntur.
Kini, penenun kembali mengandalkan pewarna alam. Mereka juga mengidentifikasi kembali beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai pewarna alami wastra, di antaranya tingi, Ceriops condolleana, yang menghasilkan warna coklat kemerahan. Ada pula tanaman jambal, Pilthoperum pterocarpum sinonim, dari Pelthoperum ferrigineum yang menghasilkan warna kecoklatan.
Selain itu, ada pula tegeran, Cudrania javanensis, yang menghasilkan warna kekuningan. Sementara kulit buah jawalawe, Terminalia bellirica, menghasilkan warna kehijauan. Tidak hanya dari tanaman, pewarna alam juga didapatkan dari hewan, seperti teripang,
Program Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Inovatif dan Kreatif melalui Kolaborasi Nusantara (Ikkon) membuat penenun menyadari bahwa menggunakan pewarna alam semakin banyak penggemarnya.
”Dengan adanya tim dari Bekraf ini, seolah mata saya terbuka untuk menggunakan pewarna alam,” kata Suwini. Kelompok tenun Suwini, eS.A merupakan salah satu mitra dari Bekraf dalam program Ikkon.
Seolah, mata saya terbuka untuk menggunakan pewarna alam.
Selembar selendang garis berukuran 2 meter x 60 sentimeter, kata Suwini, ditenun dalam dua pekan. Pewarna pakannya adalah daun ketapang, pewarna lungsinya adalah indigo, ketapang, mahoni, dan kangung jawe. Selendang berbahan rayon ini dijual seharga Rp 250.000.
Helena Nahim, perajin dari kelompok Bunga Dahlia di Desa Wae Mose, Manggarai Barat, Flores, juga mengakui, peminat kain tenun dengan pewarna alam semakin banyak. Tanaman yang dapat digunakan sebagai pewarna alam juga masih banyak ditemui di sekitar desa mereka.
Untuk mewarnai benang yang akan ditenun, digunakan berbagai jenis tumbuhan, seperti akar mengkudu untuk warna merah, daun nira untuk mendapatkan warna biru, kunyit untuk warna kuning, serta kulit pohon mangga.
Pewarnaan dengan bahan tumbuhan tersebut dilakukan berulang kali sehingga benang memiliki warna yang khas.
Warna yang tampak dari bahan pewarna alam memang tidak tampil secerah pewarna sintetis, tetapi semakin lama semakin indah. Untuk memperkuat warna agar tidak cepat pudar, bahan pewarna itu dicampur dengan getah mangga.
Mudah dirawat
Merawat kain tenun berpewarna alam juga lebih mudah. Kain dapat dicuci dengan sabun mandi yang lembut atau sampo dan air, tidak perlu diproses dengan pencucian kering yang lebih mahal.
Kain yang sudah berulang kali dicuci akan menjadi lemas dan kain itu menjadi semakin nyaman digunakan, tanpa khawatir warnanya menjadi pudar.
Helena mengatakan, selain lebih banyak menggunakan pewarna alam, dia juga mengubah cara membuat baju. ”Dahulu, kain ditenun baru dibuat baju. Tetapi, sekarang, saya membuat dahulu rancangan bajunya, lalu dibuat pola baru bahan ditenun sesuai dengan pola yang sudah saya buat,” kata Helena.
Dia memperlihatkan atasan berwarna marun yang dibuat dengan cara baru. ”Baju ini saya tentukan, saya mau ada tenunan kuning di bagian depan. Jadi ketika menenun, sudah dirancang agar ada benang kuning untuk bagian depan,” katanya.
Dengan cara seperti itu, baju-baju ditenun sesuai dengan rancangan yang sudah ada. Sebuah atasan dengan teknik tenun baru dan berpewarna alam ini dibanderol seharga Rp 350.000-Rp 400.000 per potong.
Para penenun itu mengakui, memproses pewarna alam lebih lama dan lebih rumit daripada sekadar memakai pewarna sintetis. Akan tetapi, kualitas yang didapatkan sepadan. Penggemar kain tenun pewarna alam pun semakin banyak walaupun harga kain atau baju menjadi lebih mahal.
Bagi para penggemar wastra Nusantara, kain yang semakin natural, semakin menunjukkan keasliannya, semakin disuka. Walaupun mereka harus merogoh kocek lebih dalam lagi untuk mendapatkannya, ada kepuasan ketika membeli kain berbahan baku alam.