Negara-negara Eropa cukup maju menerapkan energi baru dan terbarukan. Sumber energi terbarukan dan ramah lingkungan dari tenaga angin, misalnya, sudah banyak dikembangkan di Eropa.
Energi terbarukan memiliki banyak sumber, seperti dari tenaga air dan tenaga surya atau sinar matahari. Bisa juga dari tanaman pangan, seperti minyak kedelai, bunga matahari, dan minyak sawit, sebagai bahan bakar hayati (biodiesel). Minyak sawit menjadi salah satu andalan bahan energi biodiesel karena pasokannya berlimpah dan harganya relatif lebih murah.
Dalam pertemuan Parlemen Eropa, Komisi Eropa, dan Dewan Uni Eropa terkait arahan energi terbarukan Uni Eropa atau Renewable Energy Directive (RED II) pada pertengahan Juni 2018, disepakati target meningkatkan penggunaan energi terbarukan sampai sekurang-kurangnya 32 persen pada 2030. Saat ini baru sekitar 27 persen. Peningkatan target penggunaan energi terbarukan bisa diartikan ada pengurangan secara bertahap sejumlah kategori bahan bakar nabati tertentu.
Target penggunaan energi terbarukan untuk mencapai lingkungan yang bersih dan langit biru, tanpa polusi dari energi fosil atau mengurangi pemanasan global, sah-sah aja. Namun, yang menjadi tantangan besar bagi negara produsen minyak sawit -seperti Indonesia- adalah Uni Eropa ingin memperbaiki dan memperjelas keberlanjutan dari penggunaan bioenergi. Penggunaan minyak nabati sebagai sumber energi tidak boleh terbuat dari bahan mentah yang diperoleh dari tanah yang memiliki nilai keanekaragaman hayati yang tinggi, seperti hutan primer, lahan pepohonan lain, atau kawasan hutan lindung.
Itu berarti, kriteria yang digunakan Uni Eropa dalam pengurangan secara bertahap sejumlah kategori bahan bakar nabati tertentu, seperti minyak kelapa sawit, untuk mencapai target penggunaan energi terbarukan, tidak terlepas dari isu deforestasi dan alih fungsi lahan. Kontribusi bahan bakar nabati yang berisiko tinggi terhadap perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung atau alih fungsi lahan, akan kian dibatasi.
Kriteria dalam pengurangan secara bertahap bahan bakar nabati tertentu cenderung kurang adil dan tidak proporsional. Mengapa? Sebab, kriteria yang digunakan Uni Eropa cenderung hanya fokus pada masalah deforestasi dan alih fungsi lahan yang dapat mengganggu keberlanjutan keanekaragaman hayati.
Padahal, negara produsen sawit, terutama Indonesia, sudah memiliki standarisasi, yaitu Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Standarisasi ISPO itu seharusnya terus-menerus ditingkatkan dan disesuaikan dengan standar yang digunakan negara-negara pembeli minyak sawit, terutama Uni Eropa. Dengan peningkataan standar yang diakui bersama, aspek keberlanjutan lingkungan hidup dapat sterjaga.
Kriteria yang digunakan Uni Eropa juga dinilai kurang menyentuh prinsip-prinsip atau tujuan-tujuan program pembangunan berkelanjutan. Tujuan program pembangunan berkelanjutan antara lain mengurangi kemiskinan dan kelaparan, menciptakan pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi, dan menekan kesenjangan.
Perkebunan dan industri minyak sawit selama ini memberi kontribusi nyata bagi upaya mengurangi kemiskinan, terutama penduduk di pedesaan. Masyarakat sekitar pun memperoleh pekerjaan yang layak sebagai petani sawit. Pada akhirnya, sektor perkebunan dan industri minyak sawit mampu menjaga atau mendorong pertumbuhan ekonomi. Industri minyak sawit juga memberi kontribusi nyata bagi industri pengguna produk minyak sawit dan turunannya, seperti di sektor industri makanan, industri kecantikan, dan sebagai sumber energi terbarukan.
Produksi minyak sawit yang terus meningkat untuk memenuhi kebutuhan dunia, baik untuk produk makanan maupun energi terbarukan, tentu menjadi ancaman bagi produsen minyak nabati lainnya. Volume ekspor minyak sawit Indonesia pada 2017 sebanyak 31,05 juta ton dengan nilai 22,97 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, sebanyak 5,02 juta ton di antaranya diekspor ke Uni Eropa. Sawit Indonesia masih menghadapi tantangan.