Kabar positif diterima pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM di Indonesia pada akhir pekan lalu. Presiden Joko Widodo meluncurkan pajak penghasilan (PPh) final 0,5 persen bagi pelaku UMKM.
Besaran PPh final ini lebih rendah dari sebelumnya, yakni 1 persen. Secara legal, penurunan besaran tarif PPh final ini dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu.
Secara umum, kebijakan yang dinilai akan membantu UMKM ini diapresiasi. Sebagian uang UMKM yang sebelumnya digunakan untuk membayar pajak, nantinya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan usaha.
Di sisi lain, kendati menyambut positif, beberapa pihak memberi catatan terkait besaran penurunan tarif PPh final UMKM itu. Asosiasi UMKM Indonesia atau Akumindo misalnya, memberi gambaran pembanding bahwa tarif untuk usaha mikro dan kecil di negara lain bisa nol persen. Pemerintah pun diminta mewaspadai kemungkinan pelaku usaha besar yang bermetamorfosis menjadi UMKM demi mendapatkan tarif 0,5 persen tersebut.
Sementara, Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha Jawa Timur berharap agar pengenaan tarif pajak bagi UMKM tidak didasarkan pada peredaran bruto. Mereka menaruh asa agar pengenaannya didasarkan pada laba bersih. Dengan demikian, perhitungan pajaknya bisa lebih ringan lagi bagi UMKM.
Hal lain yang disoroti adalah jangka waktu pengenaan tarif. Ada pandangan, tanpa dibatasi waktu pun, ketika usahanya sudah naik ke tingkatan lebih tinggi, maka tarif pajak 0,5 persen itu tidak berlaku bagi mereka.
Tentu, kesadaran pembayaran pajak menjadi penting. Pengorbanan perolehan pajak dari penurunan tarif PPh akan tertebus ketika pada akhirnya perolehan pajak meningkat dari usaha-usaha yang kian berkembang. Ini soal waktu, kemampuan, dan tentu kesadaran.
Komentar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution yang dikutip Kompas menjadi menarik. Ia menyebutkan, ada pertumbuhan positif wajib pajak UMKM.
Angka-angka yang didata pemerintah menunjukkan, pada periode 2013-2017, terjadi peningkatan wajib pajak UMKM perorangan, dari 165.000 wajib pajak menjadi 1.268.000 wajib pajak. Wajib pajak UMKM badan usaha juga meningkat dari 56.000 wajib pajak menjadi 205.000 wajib pajak.
Data menunjukkan, perolehan PPh UMKM pada 2017 tersebut sebesar 2,2 persen dari total PPh yang dibayarkan. Kebijakan penurunan PPh final UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen dinilai memiliki potensi jangkauan yang cukup luas.
Berdasarkan data terbaru Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini ada 62 juta unit UMKM di Indonesia. Dari jumlah itu, sekitar 90 persen di antaranya berupa usaha mikro.
Berdasarkan rasa keadilan, penurunan PPh final UMKM memberi pesan kuat bahwa UMKM pun mendapat perhatian di sisi fiskal. Selama ini, kerap terdengar fasilitas pembebasan pajak atau keringanan pajak ditujukan bagi perusahaan berskala besar dengan pemenuhan kriteria tertentu. Kini, bagi UMKM pun ada kebijakan PPh final 0,5 persen.
Namun, penurunan PPh final UMKM adalah sebentuk dukungan yang kiranya perlu dibarengi dan ditindaklanjuti dengan berbagai ikhtiar lain. Upaya meningkatkan usaha mikro agar naik kelas ke kecil, ke menengah, dan seterusnya tentu perlu upaya besar dan dukungan berbagai pemangku kepentingan.Pemberdayaan UMKM tidak bisa dilakukan sendiri-sendiri dan tidak bisa dengan kebijakan yang sepotong-sepotong.