FES, KOMPAS - Pemerintah Indonesia berusaha mencari pasar baru sebagai target pemasaran produk. Upaya negosiasi atau perjanjian perdagangan bilateral terus digenjot untuk memudahkan barang masuk.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di sela-sela Fes Meknes Economic Forum, Kamis (28/6/2018) di Fes, Maroko mengatakan, penurunan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS harus menjadi perhatian penting. Di satu sisi, situasi ini positif bagi ekspor sejumlah komoditi Indonesia. Namun, di sisi lain berdampak negatif terhadap produksi barang lokal yang bahan baku utama dan penolongnya masih mengandalkan impor, seperti tempe, pakan ternak, dan terigu.
"Pada ramadhan lalu, kami bekerja keras mengendalikan harga. Secara teoritis atau dalam situasi normal, gejolak kenaikan harga di tingkat konsumen seharusnya tidak perlu banyak kekhawatiran. Namun, dengan situasi sekarang, kami harus mengupayakan balancing," ujar dia.
Enggartiasto menyebut pelaku usaha tentunya akan melakukan penghitungan ulang karena adanya kenaikan nilai tukar rupiah ini. Dia akan terjun langsung berdiskusi dengan pengusaha mengenai dampak lebih jauh, seperti kenaikan harga barang di tingkat konsumen.Dia menegaskan, pemerintah berusaha menjaga neraca perdagangan. Di tengah situasi perekonomian dan perdagangan global seperti sekarang, pemerintah berusaha menggali peluang di pasar-pasar baru. Misalnya, Afrika.
"Ekspor barang tidak boleh hanya tergantung ke pasar tradisional. Afrika, contohnya. Kami berusaha mempercepat negosiasi dan membangun perjanjian-perjanjian perdagangan bilateral dengan mereka," kata Enggartiasto.
Tunisia dan Maroko dia akui berpenduduk kecil. Namun, kedua negara ini dekat dengan negara Eropa. Produk Indonesia bisa masuk lebih dulu ke Tunisia atau Maroko sebelum diperjualbelikan di Eropa.
Sesuai data Kementerian Perdagangan, total nilai perdagangan Indonesia ke semua negara Afrika mencapai 8,85 miliar dollar AS pada tahun 2017.
Dalam rangkaian misi dagang Indonesia ke Maroko pada 26-29 Juni 2018, Kementerian Perdagangan turut menyelenggarakan business matching atau kegiatan yang mempertemukan pengusaha lokal dengan pembeli dari Maroko. Jumlah pelaku usaha mencapai 35 orang dari 18 perusahaan. Mereka berlatar belakang beragam sektor industri, antara lain minyak kelapa sawit, perhiasan, kopi, mainan anak, dan busana muslim.
Saat membuka business matching, Enggartiasto menceritakan bahwa Indonesia rutin menggelar pameran, forum bisnis, dan business matching bernama Trade Expo Indonesia yang pada 2018 telah memasuki tahun penyelenggaraan ke-33. Saat penyelenggaraan tahun lalu, hadir 27.000 pengunjung asing dan 596 di antaranya datang dari 27 negara Afrika. Nilai transaksi dengan pebisnis dari Afrika tercatat mencapai 111 juta dollar AS.
Dia berharap, pelaku usaha dari Afrika, khususnya Maroko, bisa menghadiri Trade Expo Indonesia 2018 yang berlangsung 24-28 Oktober di Indonesia. Dengan demikian, mereka bisa bertemu langsung dan bermitra dengan pengusaha lokal Indonesia.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan produk turunan turun dari 1,38 miliar dollar AS pada Januari 2018 menjadi 1,27 miliar dollar AS pada April 2018. Hal itu terjadi karena ada penurunan permintaan dan fluktuasi harga, kenaikan bea masuk di India, dan kampanye negatif CPO dan produk turunannya di Eropa (Kompas, 16 Mei 2018).
Enggartiasto mengemukakan, sudah saatnya melakukan diversifikasi pasar dan produk. Pemerintah Indonesia tidak keberatan mendorong perusahaan Indonesia untuk berinvestasi di Afrika, seperti mereka berlatar belakang sektor industri minyak kelapa sawit.
Mereka bisa mengembangkan aneka produk turunan dari minyak kelapa sawit di Afrika. Misalnya, bahan baku dikirim dari Indonesia lalu dibuat produk turunan kosmetik atau minyak goreng. Dengan demikian ada keuntungan lebih dari ekspor minyak kelapa sawit, perusahaan pun dapat meningkatkan laba.
"Kami tidak meninggalkan pasar lama, seperti Uni Eropa. Kami justru menambah pasar baru. Jadi kami tidak tergantung dengan pasar lama," tutur dia.
Dalam kegiatan forum bisnis Indonesia-Maroko, Rabu (27/6/2018), di Fes, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kanya Laksmi Sidharta mengungkapkan, produksi minyak kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2017 mencapai 42 juta ton. Sebagian hasil produksi diekspor.
Pada tahun lalu, minyak kelapa sawit Indonesia menyasar ke pasar-pasar luar negeri. Pengiriman terbesar menuju India, lalu diikuti Uni Eropa, Afrika, dan Amerika Serikat. Sekitar sepuluh tahun lalu, secara global, pangsa pasar minyak kelapa sawit Indonesia baru mencapai 17,5 persen. Adapun saat sekarang, pangsa pasar sudah naik menjadi 30,10 persen terhadap total global.
Menurut Kanya, minyak kelapa sawit memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia. Indonesia sendiri berusaha membangun standar sistem produksi yang berkelanjutan.
"Kemiripan Indonesia dan Afrika adalah produser sekaligus konsumen minyak kelapa sawit. Indonesia juga mempunyai komitmen kuat dalam produksi berkelanjutan. Kami pun memandang Maroko sebagai pasar potensial minyak kelapa sawit Indonesia sekaligus berpotensi menjadi penghubung baru untuk pasar Afrika Utara," kata dia. (MEDIANA dari Fes, Maroko).