JAKARTA, KOMPAS--Ketimpangan antarwilayah masih menjadi permasalahan strutural dalam perekonomian nasional. Otonomi daerah ditujukan antara lain untuk mengurai masalah tersebut. Namun, setelah berlangsung 18 tahun, implementasi sistem ini terbukti belum efektif.
”Ketimpangan antarwilayah sebelum dan sesudah desentralisasi tidak bergeser. Bahkan, yang terjadi sedikit lebih lebar,” kata Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro saat berkunjung ke Kompas, Jumat (29/6/2018).
Salah satu tujuan otonomi daerah, menurut Bambang, adalah mengurangi dominasi ekonomi Jawa dan kawasan barat. Akan tetapi, setelah desentralisasi berlangsung sekitar 18 tahun, komposisinya relatif stagnan.
Perbandingan ketimpangan antarwilayah sangat bervariasi. Perbandingan itu di antaranya Jawa-Sumatera dengan luar Jawa-Sumatera, bagian barat dengan timur, daerah perbatasan dengan pusat pertumbuhan ekonomi, serta daerah kepulauan dengan daerah daratan.
Selama ini, Jawa dan Sumatera selalu mendominasi pembentukan produk domestik bruto (PDB). Masing-masing perannya lebih kurang 60 persen dan 20 persen. Sisanya terbagi ke pulau-pulau lain di Indonesia.
Indeks Pembangunan Manusia (IPM) bisa menunjukkan ketimpangan antara wilayah Indonesia barat dan timur. Pada 2016, rata-rata IPM wilayah barat adalah 71,19. Adapun di timur, rata-rata adalah 67,36. Sementara, produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita pada 2016 di wilayah barat adalah Rp 42,43 juta dan di wilayah timur adalah Rp 36,43 juta.
Indikator lain adalah tingkat kemiskinan. Di wilayah barat, tingkat kemiskinan pada 2015-2017 adalah 10,26 persen dari total jumlah penduduk. Sementara, di wilayah timur adalah 12,05 persen dari total jumlah penduduk.
Pemilihan kepala daerah sebagai salah satu desentralisasi di bidang politik, lanjut Bambang, mestinya bisa mendorong pengurangan kesenjangan antarwilayah. Sebab, kemampuan dan integritas kepala daerah sangat menentukan.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah melalui penjelasannya menyebutkan, pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Otonomi yang dimaksud tidak sebatas soal politik, administrasi, dan fiskal, tetapi juga ekonomi.
Belum efektif
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng menyatakan, tantangan utama otonomi daerah adalah ketimpangan antarwilayah. Selama hampir 18 tahun diterapkan, otonomi daerah belum efektif mengurangi ketimpangan antarwilayah.
Desentralisasi politik, fiskal, dan administrasi sebagai bentuk otonomi daerah, menurut Endi, sudah banyak dilakukan. Akan tetapi, kaitannya dengan dimensi ekonomi tidak banyak terjadi.
”Desentralisasi ekonomi pada intinya adalah kewenangan daerah dalam mengelola perekonomian daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyrakat. Dimensi ini tidak banyak terungkit, meskipun desentralisasi politik lewat pemilihan kepala daerah, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi fiskal telah dilakukan,” kata Endi.
Dalam salah satu kajiannya, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyimpulkan, otonomi daerah ikut memperburuk ketimpangan ekonomi dan ketimpangan antarwilayah. Kajian tersebut dilakukan mulai Maret sampai dengan Oktober 2017 di lima provinsi, yakni DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Maluku, Kalimantan Selatan, dan Bengkulu.
”Kami berani menyimpulkan bahwa memang otonomi daerah memiliki efek pada memburuknya ketimpangan ekonomi, bukan karena kebetulan,” kata Direktur Eksekutif Indef Enny Sri Hartati.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam salah satu kuliah umumnya pernah menyatakan, salah satu tujuan pembentukan negara adalah mengentaskan rakyat dari kemiskinan, mengurangi kesenjangan ekonomi, serta meningkatkan produktivitas dan daya saing. Untuk menjalankan misi itu, salah satu instrumen penting pemerintah adalah APBN yang sebagian di antaranya ditransfer ke daerah.
Untuk itu, Sri Mulyani mengingatkan, ketika APBN dan APBD dikuasai elite tertentu untuk kepentingan kelompoknya, sasaran pembangunan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur akan terbengkalai. Masyarakat sebagai pemangku utama akhirnya hanya mendapatkan sisa-sisanya.
”Musuh terbesar adalah korupsi,” kata Sri Mulyani.