Pemerintah Mesti Ikut Menopang
JAKARTA, KOMPAS--Keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin menjadi 5,25 persen tidak cukup. Pemerintah mesti ikut menopang langkah itu dengan cara mengakselerasi pertumbuhan ekonomi di dalam negeri, terutama dari sektor-sektor penghasil devisa.
Sektor penghasil devisa dalam jangka pendek adalah pariwisata. Adapun pada jangka panjang adalah industri manufaktur berbasis ekspor dan industri substitusi impor.
Pendapatan devisa penting di tengah ketidakpastian ekonomi dan keuangan global, untuk menjaga transaksi berjalan Indonesia. Per akhir Mei 2018, cadangan devisa Indonesia 122,914 miliar dollar AS. Sementara, transaksi berjalan Indonesia per triwulan I-2018 defisit 5,542 miliar dollar AS atau 2,15 persen produk domestik bruto (PDB).
“Pemerintah perlu paket kebijakan untuk menjaga kepercayaan pasar dan tidak ada ego sektoral. Semua insentif untuk mendorong devisa perlu dimaksimalkan,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara di Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Semua insentif untuk mendorong devisa perlu dimaksimalkan.
Menurut Bhima, kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 0,5 persen merupakan upaya menjaga stabilitas rupiah. Namun, hal itu perlu diimbangi dengan mendorong pertumbuhan sektor ekonomi lain. Jiika tidak dilakukan, pertumbuhan ekonomi bisa di bawah 5 persen. Selain itu, fundamen ekonomi perlu dibenahi, terutama meningkatkan daya beli masyarakat dan kinerja ekspor.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution di kantornya, kemarin, menjelaskan, pemerintah sedang menyusun cara memperbaiki neraca perdagangan yang defisit. Pemeirntah sedang membahas penerimaan devisa dari sektor pariwisata. "Tidak berarti bulan depan langsung berubah. Tapi kami tidak ingin negatif terlalu lama," katanya.
Per akhir Mei 2018, neraca perdagangan Indonesia defisit 2,834 miliar dollar AS.
Rapat Dewan Gubernur BI kemarin juga menaikkan suku bunga simpanan rupiah bank di BI (deposit facility) sebesar 50 bos menjadi 4,5 persen. Suku bunga pinjaman rupiah bank di BI (lending facility) juga naik 50 bps menjadi 6 persen.
Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin, mengatakan, keputusan itu merupakan langkah lanjutan BI untuk secara preemtive, front-loading, dan ahead of the curve menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara dan ketidakpastian pasar keuangan global yang masih tinggi.
Tantangan ketidakpastian keuangan global yang dihadapi berasal dari rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, teh Fed, dua kali lagi pada tahun ini dan kebijakan Bank Sentral Eropa (ECB) yang akan menurunkan pembelian aset pada September ini. Tantangan lain berupa kebijakan Bank Sentral China (PBoC) yang menurunkan giro wajib minuman untuk mengantisipasi dampak perang dagang dengan AS.
Di sektor perdagangan global, tantangan yang muncul adalah kenaikan harga minyak. Selain itu, tekanan perang dagang AS-China yang meningkat memicu penguatan dollar AS secara global dan pembalikan modal dari negara berkembang. Hal ini memperlemah mata uang banyak negara, termasuk rupiah.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate kemarin, nilai tukar rupiah Rp 14.404 per dollar AS. Nilai tukar ini yang terlemah sejak 6 Oktober 2015. Pada 5 Oktober 2015, nilai tukar Rp 14.604 per dollar AS.
"Fokus jangka pendek kami adalah menjaga stabilitas ekonomi, terutama nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, kami akan terus berkoordinasi dengan pemangku kepentingan terkait dan mengeluarkan kebijakan makroprudensial di sektor properti," kata Perry.
Kebijakan makroprudensial di sektor properti melalui relaksasi rasio kredit terhadap agunan (Loan to Value Ratio/LTV) untuk bank umum dan rasio pinjaman terhadap agunan (Financing to Value Ratio/FTV) itu berlaku mulai 1 Agustus 2018. Tujuannya, menjaga momentum pemulihan ekonomi dan stabilitas sistem keuangan dengan tetap memperhatikan aspek kehati-hatian dan perlindungan konsumen.
"Kebijakan itu diharapkan mendukung kinerja sektor properti yang saat ini masih memiliki potensi akselerasi dan dampak pengganda cukup besar terhadap perekonomian nasional," kata Perry.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, A Tony Prasentiantono berpendapat, kenaikan suku bunga acuan harus dilakukan sebagai upaya jangka pendek. "Namun, hal itu perlu diikuti dengan upaya jangka panjang guna mendorong pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada peningkatan ekspor dan cadangan devisa,” ujarnya.
Saham
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat pascapengumuman kenaikan suku bunga acuan BI. Investor asing membukukan beli bersih Rp 359,31 miliar. IHSG ditutup menguat 2,328 persen ke posisi 5.799,237. Namun, sejak awal tahun, IHSG melemah 8,75 persen.
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menilai pergerakan positif IHSG ditopang kembalinya investor asing ke pasar modal dalam negeri. “Saat kenaikan suku bunga acuan diumumkan di sesi dua perdagangan dengan kenaikan 50 bps, yang artinya di atas ekspektasi, penguatan IHSG terus terjadi hingga penutupan perdagangan,” ujarnya.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Inarno Djajadi mengatakan, rentang kenaikan suku bunga acuan BEI di luar dugaan dan konsensus analis yang sebesar 25 bps. “Saya menyambut baik keputusan ini karena depresiasi rupiah bisa tertahan. Hal ini positif bagi harga saham,” ujarnya.