JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 kembali defisit. Artinya, nilai impor lebih besar daripada ekspor. Sektor minyak dan gas bumi yang defisit 1,24 miliar dollar AS berkontribusi besar terhadap defisit Mei 2018 yang sebesar 1,52 miliar dollar AS.
Dengan nilai tukar Rp 14.000 per dollar AS saja, defisit sektor migas Rp 17,3 triliun dari total defisit yang mencapai Rp 21,28 triliun. Dengan demikian, sektor migas berpengaruh sekitar 81 persen dari total defisit neraca perdagangan.
Di sektor migas apakah ada cara mengurangi defisit pada neraca perdagangan Indonesia? Bisakah mengurangi impor minyak? Sekadar catatan, dari kebutuhan bahan bakar 1,6 juta barrel per hari, separuhnya masih perlu diimpor.
Adapun kemampuan pengolahan kilang di dalam negeri terbatas, kurang dari 1 juta barrel per hari. Di samping itu, kemampuan produksi minyak dalam negeri juga jauh dari mencukupi atau hanya sekitar 700.000 barrel per hari.
Pemerintah sebenarnya sudah memulai sejak 2015 lewat kebijakan pencampuran biodiesel ke dalam solar dalam jumlah tertentu. Pada 2015, pemerintah mewajibkan pencampuran 15 persen biodiesel untuk sektor transportasi, industri dan bisnis komersial, serta pembangkit listrik. Khusus pembangkit listrik, kewajiban pencampuran sebesar 30 persen. Secara bertahap, kewajiban pencampuran diperbesar dan kini 20 persen.
Biodiesel yang dihasilkan dari minyak sawit produksi dalam negeri akan mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM). Kendati hanya 20 persen per liter, pemerintah menghitung bahwa kebijakan B-20 pada 2017 mampu menghemat devisa 900 juta dollar AS atau setara Rp 12,6 triliun.
Kendati masih ada kajian lebih jauh tentang dampak penggunaan biodiesel untuk mesin kendaraan, ini adalah sebuah peluang untuk mengurangi tekanan defisit neraca perdagangan. Meningkatkan pasokan minyak di dalam negeri rasanya sulit diharapkan seiring peningkatan konsumsi BBM dan tak kunjung bertambahnya produksi minyak di dalam negeri.
Apalagi, sejumlah pihak meramalkan kebutuhan BBM nasional pada 2025 akan melonjak menjadi sekitar 2 juta barrel per hari. Dengan kondisi produksi minyak di dalam negeri saat ini, sangat sulit diharapkan produksi naik secara signifikan dalam waktu singkat.
Indonesia sebenarnya berpotensi besar untuk mengurangi ketergantungan pada impor minyak dan gas bumi, salah satunya berupa batubara. Sebagai sumber energi utama pembangkit listrik, beberapa negara berhasil mengubah batubara menjadi gas (gasifikasi batubara), bahkan avtur. Namun, gasifikasi batubara di Indonesia masih sebatas proyek percontohan alias belum ada yang dikembangkan secara komersial.
Upaya lain adalah mempercepat pemanfaatan listrik untuk alat transportasi, khususnya di kota-kota besar. Kendaraan listrik mengurangi pemakaian BBM yang sebagian diperoleh lewat impor. Sayangnya, infrastruktur untuk mempercepat pemanfaatan listrik di sektor transportasi masih jauh dari memadai. Belum jelas bagaimana rincian peta jalan kebijakan ini.
Seharusnya, kondisi produksi minyak dalam negeri yang terus merosot dan kebutuhan BBM nasional yang meningkat cukup menjadi cambuk agar pasokan minyak ditingkatkan. Begitu pula upaya mengoptimalkan substitusi minyak mentah, misalnya dari biodiesel atau listrik.
Lonjakan harga minyak dunia dan pelemahan posisi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS berpotensi memperbesar defisit neraca perdagangan Indonesia. Antisipasi harus disiapkan sedini mungkin. Kesungguhan merealisasikan kebijakan yang sudah disusun amat dibutuhkan, termasuk visi kebijakan energi yang tepat dan cerdas di masa mendatang. Bukan visi mengandalkan impor.