JAKARTA, KOMPAS — Ketidakpastian kondisi perekonomian dan keuangan global terus berlanjut sehingga diperkirakan akan semakin menekan perekonomian domestik. Kebijakan moneter tidak akan cukup menangkal tekanan tersebut. Kebijakan itu juga perlu ditopang dengan kebijakan fiskal dan riil.
Ada sejumlah indikator yang menyebabkan ketidakpastian global berlanjut. Di sektor perdagangan, harga minyak mentah dunia naik dan tekanan perang dagang Amerika Serikat-China meningkat. Di sektor finansial, likuiditas global mengetat.
Faktor lain adalah kemungkinan Bank Sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuan dua kali lagi tahun ini. Sementara Bank Sentral Eropa akan menghentikan pembelian obligasi pada September. Bank Sentral China (PBoC) memangkas giro wajib minimum 50 basis poin untuk menambah likuiditas 17 bank nasional, mengantisipasi dampak perang dagang AS-China.
Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Maxensius Tri Sambodo kepada Kompas, Minggu (1/7/2018), mengatakan, ketidakpastian kondisi perekonomian dunia masih akan berlanjut.
Ketidakpastian itu semakin menekan perekonomian di dalam negeri. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah sehingga menguras cadangan devisa untuk stabilisasi rupiah dan membayar impor yang meningkat cukup signifikan.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat (29/6/2018), nilai tukar rupiah Rp 14.404 per dollar AS. Per akhir Mei 2018, cadangan devisa 122,914 miliar dollar AS.
Berdasarkan data di laman Bloomberg, Minggu malam, harga minyak mentah WTI 74,15 dollar AS per barrel, sedangkan Brent 79,23 miliar dollar AS per barrel. Jumat lalu, BI menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin, menjadi 5,25 persen.
”Tidak cukup menangkal ketidakpastian global itu dengan kebijakan moneter. Kebijakan moneter itu juga perlu diikuti dengan kebijakan fiskal dan riil,” katanya.
Menurut Maxensius, kebijakan fiskal yang bisa ditempuh antara lain dengan mengurangi subsidi dan menunda sejumlah proyek nasional yang belum begitu penting. Pemerintah juga diharapkan dapat memberikan insentif fiskal bagi pengembangan kawasan ekonomi khusus (KEK).
Riset LIPI di KEK Mandalika di Nusa Tenggara Barat dan Tanjung Kelayang di Bangka Belitung menunjukkan, investasi di kawasan itu terhambat. Sejumlah investor masih menunggu insentif fiskal dari pemerintah agar mereka tidak terbebani investasi berbiaya tinggi.
”Di sektor riil, pemerintah perlu mempercepat pembangunan industri manufaktur berbasis ekspor dan industri substitusi impor. Dalam jangka pendek ini, penggunaan sumber daya alam lokal di dalam negeri bisa dioptimalkan untuk mengurangi bahan baku impor,” katanya.
Pekan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan, fokus jangka pendek BI adalah menjaga stabilitas ekonomi, terutama nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita yang tengah mengikuti pertemuan Kemitraan Ekonomi Regional Komprehensif (RCEP) di Jepang mengatakan, negara-negara anggota ASEAN berkomitmen meningkatkan kerja sama perdagangan.
Ia menambahkan, dalam pertemuan bilateral dengan China, China telah berjanji tidak akan mengurangi volume impor dari Indonesia. ”Kemendag juga telah meminta China menambah kuota impor CPO dari Indonesia sebanyak 500.000 ton,” kata Enggartiasto.