Industri keramik sebenarnya memiliki potensi besar untuk mengisi pasar dalam negeri ataupun ekspor. Namun, beragam masalah dan tantangan mendera sektor industri tersebut.
Direktorat Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian menengarai dalam beberapa tahun terakhir terjadi penurunan utilisasi industri keramik nasional dari 80 persen menjadi 60 persen. Peringkat dunia industri keramik Indonesia pun turun dari urutan keempat menjadi kedelapan.
Padahal, dari sisi ketersediaan bahan baku, Indonesia kaya. Dari sisi pasar, populasi negeri ini pun besar. Sebentuk potensi yang seharusnya dapat dijadikan modal untuk mendorong industri keramik agar semakin tangguh.
Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) memiliki sederet daftar masalah yang dihadapi produsen keramik di dalam negeri. Salah satu masalah lama yang hingga kini tidak kunjung mendapat solusi adalah harga gas industri yang tinggi.
Sejak tahun 2015 keluhan ini gencar disuarakan. Harga gas di negara lain yang rata-rata di bawah 6 dollar AS per juta metrik british termal unit (MMBTU) pun dijadikan pembanding.
Belum lagi menyangkut kesenjangan harga gas industri. Data pertengahan Juni 2018, harga gas industri di zona Jawa bagian barat (Banten sampai perbatasan Jawa Tengah) sebesar 9,16 dollar AS per MMBTU. Sementara itu, harga gas industri di zona Jawa bagian timur 7,98 dollar AS per MMBTU.
Salah satu masalah lama yang hingga kini tidak kunjung mendapat solusi adalah harga gas industri yang tinggi.
Artinya, masih sama-sama di Jawa saja ada selisih 1,18 dollar AS per MMBTU atau hampir 11 persen. Sebuah kondisi yang secara bisnis dinilai Asaki tidak bagus dalam kompetisi.
Belum lagi ketika terjadi penguatan dollar AS terhadap rupiah seperti terjadi belakangan ini. Nilai tukar dollar AS yang tinggi menjadi beban bagi pelaku industri keramik dalam negeri.
Hal ini disebabkan komponen pembayaran yang menggunakan dollar AS mencapai 60 persen dari total biaya produksi. Padahal, sebagian besar produk keramik dijual di dalam negeri, artinya perolehan dalam rupiah.
Beberapa material bahan baku di industri keramik, seperti untuk proses pewarnaan dan pengglasiran, masih harus diimpor. Bahkan, pelaku industri keramik pun menggunakan dollar AS untuk membayar gas industri.
Alhasil, ada pertanyaan kenapa harus membayar gas industri dalam dollar AS, bukan dalam rupiah? Apalagi, di negara lain penjualan energi menggunakan mata uang negara sendiri. Pertanyaan yang tentu patut mendapatkan jawaban.
Beberapa waktu terakhir kalangan pelaku industri keramik di Indonesia pun mengajukan safeguard atau perlindungan perdagangan. Sebentuk ikhtiar mereka menyikapi kecenderungan lonjakan importasi keramik.
Perkiraan Asaki, kebutuhan keramik dalam negeri saat ini sekitar 400 juta meter persegi. Dari kebutuhan tersebut, sekitar 20 persen diisi produk impor. Volume impor keramik tiap tahun pun ditengarai meningkat rata-rata 22 persen. Bahkan, Asaki menduga semenjak pemberlakuan penurunan bea masuk keramik dari 20 persen menjadi 5 persen, kenaikan volume impor keramik dari China bisa naik 30-40 persen.
Pemberlakuan insentif fiskal di China, yang bisa diklaim begitu ekspor dikirim, diakui menjadikan harga keramik impor dari China bisa sedikit lebih murah. Tak ayal, daya saing produk industri suatu negara dipengaruhi berbagai faktor.
Mampukah Indonesia kembali menggemilangkan industri keramik nasional? Semua itu berpulang pada sejauh mana ada komitmen untuk mengatasi gelimang masalah di industri keramik dalam negeri.