Rencanakan Keuangan
JAKARTA, KOMPAS — Sebagian generasi milenial dinilai belum bisa memilah antara kebutuhan dan keinginan. Para pekerja angkatan baru itu juga cenderung mengikuti arus gaya hidup di kota besar. Akibatnya, pengeluaran untuk mengaktualisasikan diri membengkak.
Oleh karena itu, anak-anak muda yang baru saja memasuki dunia kerja ini mesti memiliki kesadaran untuk merencanakan keuangan.
”Kebutuhan adalah harkat hidup, seperti sandang, pangan, dan papan. Jika bagian ini terganggu, kehidupan juga akan terganggu. Di luar itu, seperti biaya nongkrong di kafe dan biaya jalan-jalan, adalah keinginan yang idealnya harus dibuat skala prioritas,” ujar Aidil Akbar, perencana keuangan pendiri Aidil Akbar Madjid & Associates.
Sepanjang pekan lalu hingga Minggu (1/7/2018), Kompas menghimpun masukan dari perencana keuangan. Menurut mereka, perencanaan keuangan mutlak dilakukan demi menghadapi masa depan keuangan yang lebih baik. Generasi milenial lahir pada 1980-1999.
Menurut Aidil Akbar, gaya hidup dan kebutuhan biaya hidup di kota besar membuat generasi milenial membutuhkan biaya ekstra untuk memperoleh kemapanan. Generasi milenial di kota-kota besar juga membutuhkan rumah dan kendaraan pribadi. Namun, biaya yang terlalu tinggi membuat mereka memilih alternatif lain.
Dengan gaji rata-rata lulusan kuliah baru di Jakarta yang sebesar Rp 5 juta-Rp 6 juta per bulan, generasi milenial memilih menyisihkan uang mereka untuk menyewa tempat tinggal. Pilihan ini diambil daripada berutang untuk membeli rumah yang harganya bisa sebesar 100 bulan penghasilan mereka.
Namun, generasi milenial masih sulit menentukan kebutuhan dan keinginan. Mereka cenderung memenuhi aktualisasi diri untuk mengikuti gaya hidup.
Aidil menyarankan agar 40 persen dari penghasilan bulanan generasi milenial dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, termasuk sandang, pangan, dan papan. Adapun 30 persen mulai digunakan untuk berinvestasi dan 30 persen untuk membayar cicilan dan utang.
Pembagian ini, menurut Aidil, efektif dan aman dilakukan jika sudah memiliki dana praktis atau dana darurat yang sebesar 2-3 kali penghasilan per bulan. Di awal-awal menerima gaji, dana praktis dapat dikumpulkan menggunakan pos untuk cicilan dan utang. Artinya, sebaiknya jangan berutang jika belum memiliki alokasi dana praktis.
”Dana praktis ini penting agar jika sewaktu-waktu membutuhkan pengeluaran di luar dugaan, seperti ponsel atau komputer jinjing rusak, tidak akan mengganggu pos-pos alokasi yang lain,” katanya.
Prita Hapsari Ghozie, pendiri Zap Finance, mengingatkan generasi milenial untuk sedini mungkin bisa membedakan kebutuhan dan keinginan. Ia menyebutkan, keinginan adalah hasrat yang jika tidak terpenuhi, maka tidak berpengaruh terhadap kemampuan manusia untuk bertahan hidup.
”Jadi, tolong dibedakan antara kebutuhan alat angkut transportasi dari rumah ke lokasi kerja dengan keinginan menggunakan mobil keluaran terbaru sebagai alat transportasi dari rumah ke lokasi kerja,” ujarnya.
Prita menyusun konsep keuangan dengan rumus zapfin, yakni zakat, asuransi, biaya harian (present consumption), kebutuhan dan keinginan dalam beberapa bulan ke depan (future spending), dan investasi. Setiap pos itu memiliki alokasi dari penghasilan bulanan. Zakat 2,5-5 persen, dana darurat dan asuransi 10 persen, biaya hidup harian 30-60 persen, cicilan atau utang maksimal 30 persen, serta investasi dan tabungan 10 hingga 15 persen.
”Jika masih punya cicilan pinjaman 30 persen dari gaji, artinya biaya hidup harus maksimal 30 persen dari gaji. Apabila ada kenaikan penghasilan, porsi investasi juga sebaiknya ditingkatkan,” ujarnya.
Liburan
Perihal liburan, Prita mengingatkan, hal itu merupakan pengeluaran di luar rutinitas. Dengan demikian, mestinya tidak mengganggu pos alokasi perencanaan keuangan. Biaya liburan sebaiknya disisihkan dari penghasilan nonrutin, seperti tunjangan hari raya dan bonus tahunan.
Sementara itu, penulis buku Cinta Uang dan Kehidupan, sekaligus Regional Agency Manager BNI Life, Andy Nugroho, mengingatkan generasi milenial untuk menghindari kebiasaan berutang. Hal yang juga dihindari adalah pembayaran menggunakan kartu kredit untuk memenuhi gaya hidup, termasuk liburan.
”Kegiatan untuk memenuhi hasrat dan keinginan, termasuk berlibur, penting untuk menyegarkan kembali diri kita. Akan tetapi, perlu diingat, untuk mengejar keinginan, kita lebih baik disiplin dalam menabung daripada berutang,” ujarnya.
Jika utang tersebut tidak direncanakan dan dikelola dengan baik, lanjut Andy, dikhawatirkan terjadi defisit neraca keuangan pribadi. Padahal, untuk memulihkan hal itu perlu waktu hingga tahunan. Dampaknya, tujuan perencanaan keuangan, seperti untuk menikah atau membeli rumah tinggal, bisa gagal.
Chief Executive Officer Jouska.id, Aakar Abyasa Fidzuno, berpendapat, uang yang sebaiknya disimpan generasi milenial saat belum menjadi karyawan tetap sebanyak 50 persen dari penghasilan. Simpanan itu dapat berfungsi sebagai modal karier jika suatu saat dibutuhkan.
Secara umum, menurut Aakar, generasi milenial harus menabung sekitar 80 persen dari penghasilannya dikurangi kebutuhan primer. Sebelum berinvestasi, ia menyarankan lebih dulu melakukan riset risiko, tingkat imbal hasil, konsep, serta konsekuensi legal setiap instrumen.
Perihal cicilan yang harus ditanggung generasi milenial, Aakar berpendapat, barang yang dicicil harus memberikan manfaat lebih banyak daripada biaya kepemilikannya.
”Boleh menaikkan gaya hidup, tetapi tidak lebih besar daripada kenaikan gaji. Boleh menaikkan gaya hidup, tapi tidak boleh kalah menaikkan jumlah aset,” tuturnya.
Muhammad Rafi (23), karyawan swasta di Jakarta, menyisihkan 10 persen penghasilannya untuk berlibur. Sebagian besar penghasilannya ditabung dan diinvestasikan. Menurut Rafi, alokasi dana untuk berlibur penting agar kehidupannya seimbang.
Adapun Rizki Belinda (24), karyawan BUMN di Jakarta, mengalokasikan 30 persen dari penghasilannya untuk ditabung. ”Saya mempersiapkan tabungan ini untuk menikah dan memiliki hunian sendiri kelak,” ujarnya.