JAKARTA, KOMPAS--Peningkatan kemampuan produksi yang ditopang keberlanjutan pesanan merupakan tantangan yang dihadapi industri maritim nasional. Untuk itu, industri maritim perlu terus didukung agar semakin berkembang dan berdaya saing.
Menurut catatan Kementerian Perindustrian, saat ini China, Korea Selatan, dan Jepang mendominasi pesanan pembangunan kapal baru. Pembangunan kapal baru di China pada 2017 sebesar 29,184 juta gross ton (GT), Korea Selatan 25,468 juta GT, dan Jepang 14,733 juta GT.
"Kapasitas produksi kapal di Indonesia harus bisa ditingkatkan dari yang ada sekarang," kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Selasa (3/7/2018).
Kapasitas produksi kapal di Indonesia harus bisa ditingkatkan.
Airlangga mengatakan hal itu pada acara pengukuhan pengurus Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia (Iperindo) periode 2018-2022. Acara tersebut dirangkai dengan seminar industri maritim.
Di kawasan ASEAN, Filipina mendominasi pesanan pembangunan kapal baru, yakni sebesar 2,173 juta GT, sedangkan Vietnam 766.431 GT. Sementara itu, jumlah pesanan pembangunan kapal di Indonesia sebesar 218.300 GT.
"Pembangunan kapal di Indonesia saat ini didominasi kebutuhan dalam negeri. Tadi disampaikan, pasar domestik potensial dengan nilai sekitar Rp 5 triliun per tahun," katanya.
Sekitar 83 persen kapal yang dibangun di Indonesia -yakni sebanyak 120 unit dengan bobot 135.440 GT- untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Adapun 17 persennya, yakni sebanyak 24 unit dengan bobot 82.860 GT, diekspor.
Airlangga menuturkan, di era industri 4.0 ini, riset, pengembangan, dan desain menjadi hal penting.
"Iperindo buat saja konsorsium riset, pengembangan, dan desain secara nasional, mungkin terdiri dari berbagai industri. Nanti pemerintah akan memberikan insentif," ujar Airlangga.
Ketua Umum Iperindo Eddy Kurniawan Logam mengatakan, industri maritim yang kuat dibutuhkan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara poros maritim dunia. "Kami mencoba untuk mengurangi impor kapal, baik baru maupun bekas, karena kami melihat sudah ada kemampuan produksi di dalam negeri," katanya.
Lokal
Eddy menuturkan, Iperindo ingin menumbuhkan industri maritim secara utuh dengan meningkatkan kandungan lokal. Industri komponen harus tumbuh mengikuti pertumbuhan industri maritim.
"Jika hanya membangun kapal di dalam negeri tetapi impor komponen masih 70-an persen, itu berarti kita hanya menjadi tukang jahit," ujarnya.
Terkait dukungan pembangunan kapal, Iperindo berharap kementerian, BUMN, dan BUMD membangun kapal di dalam negeri. "Manfaatkanlah galangan kapal nasional sehingga bisa menghemat devisa," kata Eddy.
Manfaatkanlah galangan kapal nasional.
Keberadaan riset dan standar desain berpotensi untuk meningkatkan efisiensi industri galangan kapal dalam negeri.
"Selama ini jika kami membangun kapal butuh waktu enam bulan untuk desain. Setiap kali tender harus ada gambar-gambar baru. Itu semua menciptakan ketidakefisienan," katanya.
Jika ada standar desain, galangan bisa lebih cepat membangun kapal. Oleh karena itu, Iperindo akan bekerja sama dengan Indonesia National Shipowners’ Association (INSA), Kemenperin, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Otoritas Jasa Keuangan, dan Bank Indonesia.
"Kami ingin membangun kesadaran bagi pihak perbankan bahwa industri maritim adalah industri yang akan bertumbuh dan perlu didukung," kata Eddy.
Produksi kapal dalam negeri akan sulit bersaing dengan kapal yang dibangun di China dan Korea Selatan. Sebab, suku bunga pinjaman di Indonesia lebih tinggi dibandingkan dua negara itu.
Guru Besar Universitas Indonesia Haula Rosdiana mengatakan, kebijakan pembebasan bea masuk atas komponen kapal sebaiknya juga memerhatikan tingkat serapan komponen produksi dalam negeri. Apabila hasil produksi komponen dalam negeri belum sepenuhnya terserap, maka fasilitas pembebasan bea masuk tidak dapat diberikan.
Fasilitas bea masuk nol persen hanya dapat diberikan untuk komponen yang belum dapat diproduksi di dalam negeri.
Haula menuturkan, kebijakan insentif bea masuk nol persen semestinya juga dievaluasi secara berkala.