Jadi Bagian Rantai Pasok Global
Isu kandungan lokal dalam produk manufaktur dan isu impor menjadi isu sensitif di Tanah Air. Kedua isu itu dengan embel-embel nasionalisme menjadi isu populis bagi siapa pun. Di tengah rantai pasok global yang berubah, kedua isu itu perlu didefinisi ulang. Apakah masih layak melihat kandungan lokal dan impor seperti itu pada saat kita membutuhkan devisa besar?
Banyak kalangan menyebutkan perlunya diversifikasi ekspor. Tak semudah seperti yang diucapkan, diversifikasi membutuhkan jalan panjang, untuk menuju diversifikasi harus melihat peran Indonesia dalam rantai pasok global yang sudah berubah.
Pertama-tama, haruslah melihat perkembangan penanaman modal di dalam negeri. Saat ini modal asing dan dalam negeri malah mengincar pasar dalam negeri. Padahal, mereka seharusnya didorong mengekspor produk jadi agar menjadi pemasok valuta asing.
Pasokan valuta asing diharapkan tidak hanya berasal dari investor portofolio saja karena tidak bersifat lestari pada masa depan. Selain itu, jika bergantung pada investor portofolio kewajiban pembayaran bunga bakal meningkat dan pembayaran dividen keluar juga membesar. Jika tidak segera melakukan diversifikasi ekspor, kondisi akan lebih sulit karena situasi pasar valas makin bergejolak, seperti dialami Indonesia belakangan ini.
Berubah
Visi peningkatan ekspor perlu didefinisi ulang karena beberapa perubahan rantai pasok mulai terjadi. Jepang dan Korea Selatan tidak percaya lagi pada China sebagai tempat berinvestasi karena takut teknologinya dicuri. Mereka memilih memindahkan produksinya ke Asia Tenggara dan Indonesia harus mengambil peluang ini.
Sayangnya, menurut data 2016 relokasi mereka sebagian besar ke Thailand, Myanmar, dan Vietnam. Myanmar dipilih karena ketersediaan tenaga kerja murah, sementara pilihan pada Thailand dan Vietnam karena campuran antara ketersediaan tenaga kerja dan kemampuan industri mesinnya. Indonesia kemungkinan hanya mendapat porsi kurang dari 10 persen. Lebih malang lagi, pada 2017 menurut data tidak ada perusahaan Jepang dan Korea Selatan yang merelokasi industrinya ke Indonesia.
Di industri makanan dan minuman, industri barang penolong dan hulu masih lemah sehingga bahan baku masih diimpor. Bahan baku yang volume impornya besar, antara lain, gula, garam, susu, dan jus buah. Bahkan, untuk produk bahan baku seperti buah-buahan harus diimpor karena kualitas stabil pasokan terjamin sepanjang tahun. Investasi di hulu memang sangat mahal dan bersifat jangka panjang. Risiko investasi di hulu juga lebih besar dibandingkan dengan di hilir.
Perusahaan Indonesia yang mampu bersaing di pasar internasional, baik di hulu maupun di hilir, yaitu eksportir nanas. Namun, tetap saja kemasan dan bahan penolongnya harus diimpor. Sebenarnya, impor bukanlah sesuatu yang tabu, selama nilai tambahnya besar di dalam negeri serta menciptakan pekerjaan dan mendukung ekspor sehingga meningkatkan daya saing. Akan tetapi, ada pejabat yang kerap menabukan impor, bahkan untuk bahan penolong.
Pemerintah sebenarnya telah melakukan sejumlah upaya untuk meningkatkan ekspor. Salah satunya, menyediakan pembiayaan ekspor. Untuk ke Afrika, misalnya, pemerintah menyediakan kredit ekspor murah yang nilainya sekitar Rp 1,3 triliun. Namun, hingga sekarang kredit itu baru terpakai Rp 300 miliar, sebab masalah sebenarnya bukan di pembiayaan, tetapi pengenaan tarif impor yang tinggi oleh negara-negara Afrika.
Koordinasi dalam menangani masalah ini sepertinya kurang baik. Seharusnya, soal tarif ini bisa dinegosiasikan pemerintah. Negara lain mendapat fasilitas bebas tarif karena berhasil membuat perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara tertentu, sementara produk Indonesia dikenai tarif 20-40 persen.
Kedutaan besar RI dan perwakilan dagang di berbagai negara perlu aktif menyelesaikan masalah perdagangan seperti itu. Mereka juga perlu memberikan informasi rutin kepada pengusaha, seperti kebutuhan pasar, regulasi, dan berbagai masalah perdagangan.
Jika pada masa lalu pesaing Indonesia adalah Vietnam, sekarang ada Myanmar. Negara ini mengenakan aturan satu pintu dalam investasi dan benar-benar dilaksanakan di lapangan oleh badan koordinasi penanaman modal. Izin investasi dalam hitungan satu hingga dua bulan langsung beres. Myanmar menjadi contoh negara yang cepat membuka diri untuk penanaman modal asing langsung.
Sri Lanka memberi penawaran tak kalah menarik. Mereka akan membeli produk investor selama 15 tahun jika investor mau menanamkan modal di negara itu dan memberi kesempatan investor bertemu langsung dengan pejabat pemerintah untuk mendapat penjelasan.
Rancu
Fenomena agak rancu terjadi di Tanah Air. Indonesia tidak bisa berharap negara lain membuka pasar kalau Indonesia menutup pasar. Kebijakan itu tidak bisa dipertahankan lagi. China membuka pintu impornya secara proporsional sehingga nilai ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) naik dari 7,5 persen menjadi 20 persen. Sementara rasio ekspor dan impor Indonesia terhadap PDB turun sehingga boleh dibilang Indonesia makin terisolasi dari perdagangan dunia.
Dalam konteks itu, pengertian kandungan lokal yang selama ini didengungkan beberapa kalangan menjadi tidak lagi relevan. Di dalam rantai pasok global saat ini, hampir tidak ada barang yang seluruhnya diproduksi di satu negara secara utuh.
Produksi dilakukan per bagian sesuai keunggulan kompetitif dan komparatif tiap negara. Contohnya sebuah produk digital, suku cadang produk ini berasal dari berbagai negara. Umumnya produsen yang mendapat nilai tertinggi, sampai lebih 30 persen, adalah Korea Selatan.
Melihat kecenderungan lebih 20 tahun terakhir dan proyeksi ke depan, pola pikir tentang kandungan lokal perlu diubah, termasuk proporsional menyikapi gelombang populisme dan nasionalisme sehingga kita tidak dirugikan. (MAR)