Koordinasi Setengah Hati
Tahun 2017 merupakan tahun rekor bagi dunia pariwisata internasional. Kedatangan wisatawan atau turis tumbuh dalam delapan tahun tanpa terputus. Destinasi wisata menerima kedatangan 1,322 miliar turis internasional, tumbuh 84 juta dibandingkan dengan 2016.
Demikian kalimat pembuka laporan Organisasi Pariwisata Dunia PBB atau UNWTO yang dirilis Juni 2018. Dalam delapan tahun terakhir, pertumbuhan turis internasional rata-rata 4 persen per tahun.
Dalam laporan itu juga disebutkan, sekitar 324 juta orang atau 25 persen dari turis internasional yang bepergian pada 2017 datang ke kawasan Asia Pasifik. Diperkirakan, tahun ini, turis internasional yang datang ke kawasan Asia Pasifik meningkat 5-6 persen dibandingkan dengan 2017. Maka, tahun ini diprediksi 340,2 juta hingga 343,44 juta turis internasional akan berwisata ke Asia Pasifik.
Indonesia yang ada di wilayah Asia Pasifik bisa memanfaatkan peluang itu. Indonesia secara bertahap meningkatkan target kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), menjadi 20 juta kunjungan pada 2020 dengan devisa 20 miliar dollar AS. Bukan target yang mudah dicapai. Perlu usaha ekstra.
Pada 2017, target kunjungan 15 juta wisman tidak tercapai. Tahun ini, Indonesia menargetkan 17 juta wisman.
Ada optimisme dalam upaya pencapaian target itu. Di atas kertas, daya saing perjalanan dan wisata RI cukup baik. Pada 2017, berdasarkan Indeks Daya Saing Perjalanan dan Wisata yang diterbitkan Forum Ekonomi Dunia, Indonesia ada di posisi 42 dari 136 negara. Nilai terbaik Indonesia dalam indeks itu adalah harga yang bersaing. Adapun nilai terjelek pada faktor keberlanjutan lingkungan.
Peringkat daya saing Indonesia itu mengungguli sejumlah negara anggota ASEAN, seperti Vietnam (67), Filipina (79), Laos (94), dan Kamboja (101).
Kegiatan pariwisata bisa dilihat dari neraca jasa dalam transaksi berjalan. Pada triwulan I-2018, neraca jasa RI memang defisit 1,425 miliar dollar AS. Namun, jika ditelusuri lebih lanjut, jasa perjalanan kegiatan pariwisata surplus 1,665 miliar dollar AS. Jasa perjalanan ini dihitung dari devisa yang dihasilkan dari kedatangan wisman di Indonesia dikurangi devisa yang dibelanjakan wisatawan domestik di luar negeri. Surplus, artinya devisa yang dihasilkan lebih besar dari yang dibelanjakan.
Jika melihat data dari Kementerian Pariwisata, wisman terbanyak pada 2017 berasal dari China. Setelah itu Singapura, Malaysia, dan Australia.
Data UNWTO menunjukkan, pengeluaran paling besar dibukukan wisatawan China pada 2017 sebesar 258 miliar dollar AS. Pengeluaran turis internasional China ini melampaui wisatawan Amerika Serikat (135 miliar dollar AS), Jerman (84 miliar dollar AS), Inggris (63 miliar dollar AS), dan Perancis (41 miliar dollar AS).
Dengan memadukan kedua data ini, Indonesia bisa membidik devisa dari wisatawan China. Sektor pariwisata diyakini bisa memberi sumbangan devisa paling cepat dan riil bagi RI. Devisa ini membantu mengurangi defisit transaksi berjalan yang berlangsung sejak 2012.
Optimal
Persoalannya kini, bagaimana mendorong sektor pariwisata agar geraknya lebih optimal agar memberi sumbangan devisa semakin besar.
Indonesia memang sudah memetakan potensi pariwisata di Tanah Air. Bahkan, sudah memilih 10 destinasi wisata yang akan dikembangkan untuk memajukan pariwisata Indonesia. Destinasi wisata unggulan itu, antara lain, Danau Toba (Sumatera Utara), Borobudur (Jawa Tengah), Mandalika (Nusa Tenggara Barat), dan Labuan Bajo (Nusa Tenggara Timur).
Citra pariwisata Indonesia juga gencar dipromosikan dengan semboyan Wonderful Indonesia. Akan tetapi, apakah upaya mendorong pariwisata RI sudah maksimal?
Salah satu contoh yang pernah terjadi adalah peristiwa alam gerhana matahari total 2016 yang bisa dilihat dari 12 provinsi di Tanah Air. Kendati sudah jauh- jauh hari diketahui, tetapi Indonesia seperti kalah cepat memasarkan peristiwa alam langka ini. Penyelenggara perjalanan dan wisata di Indonesia mengeluh, promosi berjalan sendiri-sendiri. Padahal, jika digarap bersama-sama pemerintah, dampaknya lebih dahsyat.
Promosi yang terlambat itu terlihat dari kalah cepatnya Indonesia meraih manfaat ekonomi dari gerhana matahari total 2016. Sejak 2014, agen perjalanan wisata dan kapal pesiar di luar negeri sudah memasarkan paket wisata untuk melihat gerhana di Indonesia.
Potensi ekonomi itu rupanya disadari kemudian oleh pemerintah. Pada pertengahan 2015, pemerintah baru mulai bergerak mempromosikan peristiwa tersebut kepada wisman dan wisatawan domestik. Padahal, hitungan pemerintah saat itu menunjukkan, nilai ekonomi kegiatan terkait gerhana matahari total bisa mencapai Rp 200 miliar berupa manfaat langsung dan Rp 400 miliar berupa manfaat media massa.
Kini, hal yang sama juga dikeluhkan pelaku sektor pariwisata. Asian Games 2018 akan berlangsung Agustus. Namun, pelaku usaha pariwisata masih belum memperoleh informasi jelas cara menggarap potensinya. Potensi wisata yang dilirik pelaku usaha adalah kedatangan pendukung atau penonton cabang olahraga yang dipertandingkan di Asian Games. Secara lebih spesifik, pendukung dan penonton yang akan sekaligus berwisata ke berbagai tempat di sekitar Jakarta dan Palembang, tempat berlangsungnya Asian Games.
Dengan informasi simpang siur itu, pelaku pariwisata jadi tergagap-gagap menggarap potensi ekonomi Asian Games. Padahal, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan, dampak ekonomi langsung Asian Games—mulai dari persiapan pada 2015 sampai dengan pelaksanaan—sebesar
Rp 45,1 triliun. Bappenas menyebutkan, dampak ekonomi itu, antara lain, dari pariwisata.
Kondisi ini menunjukkan, pariwisata sebagai sumber devisa yang paling cepat dan cukup andal ternyata belum digarap maksimal. Koordinasi masih simpang siur sehingga peluang tak bisa digarap maksimal, meskipun pariwisata menjadi andalan mendatangkan devisa.
Jika pariwisata sebagai salah satu penyumbang devisa utama tidak dikoordinasikan dengan baik, bagaimana dengan sektor lain? (IDR)