JAKARTA, KOMPAS – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tidak berpengaruh negatif terhadap industri batubara di dalam negeri. Meski demikian, perusahaan tambang diingatkan untuk tetap mementingkan suplai bagi kebutuhan energi di dalam negeri.
“Pelemahan rupiah tidak secara langsung berdampak pada perusahaan karena penghasilan kami dalam dollar AS,” kata Direktur Utama Indika Energy, Arsjad Rasjid di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Rabu, nilai tukar rupiah sebesar Rp 14.343 per dollar AS.
Harga batubara pada awal tahun ini yang pernah melampaui 100 dollar AS per ton pada awal tahun ini memunculkan peluang positif bagi perusahaan batubara. Pemerintah juga akan diuntungkan dengan tambahan devisa dari pendapatan ekspor.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro berpendapat, kondisi terkait batubara saat ini relatif menguntungkan semua pihak. Namun, ia mengingatkan agar suplai batubara untuk kebutuhan energi di dalam negeri tetap diperhatikan, selain untuk ekspor.
“Suplai batubara untuk domestik, terutama yang diperlukan untuk pembangkit listrik, bagaimanapun harus tetap terpenuhi,” ujar Komaidi.
Sesuai Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM No.23K/30/MEM/2018 tentang Penetapan Kebutuhan dan Presentase Minimal Penjualan Batubara untuk Kepentingan Dalam Negeri Tahun 2018, penjualan batubara ke dalam negeri atau Domestic Market Obligation (DMO) diwajibkan minimal 25 persen dari rencana produksi nasional 2018.
Komitmen
Selain perlu menjaga komitmen untuk bisa menguntungkan negara, perusahaan tambang juga diminta untuk menerapkan teknologi yang disebut “batubara bersih” dalam rangka mengendalikan perubahan iklim. Pembangkit listrik berbahan bakar batubara selama ini telah disasar sebagai penyumbang emisi gas karbon di udara.
Meski teknologi tersebut tidak murah dan tidak 100 persen dapat mengurangi emisi karbon, Indika Energy mengaku tetap memanfaatkan teknologi ramah lingkungan tersebut.
“Sejak awal perhitungan harga, kami sudah mempertimbangkan berbagai kemungkinan. Ya, memang biaya teknologinya mahal, tapi kalau bisa diefisiensikan, kenapa tidak?” ujar Arsjad.
Pembangkit listrik milik Indika Energy yang pertama dibangun 2012 dikatakan sudah menggunakan tekonologi yang disebut supercritical. Pada pembangunan pembangkit listrik kedua yang akan jadi tiga hingga empat tahun lagi, bahkan akan digunakan teknologi ultra- supercritical. Teknologi tersebut membuat kerja PLTU mampu menekan 20 persen atau lebih emisi karbon. (E02)