PT Pertamina Gas, anak usaha PT Pertamina (Persero), diakuisisi PT Perusahaan Gas Negara Tbk atau PGN senilai Rp 16,6 triliun untuk 51 persen saham. Bisnis Pertamina Gas atau Pertagas mirip dengan bisnis yang digarap PGN. Keduanya sama-sama bermain di sektor tengah dan hilir pada industri gas di dalam negeri.
Logikanya, akuisisi ini akan menciptakan satu pelaku saja di sektor industri gas dalam negeri. Yang tadinya ada dua perusahaan yang sama-sama berbisnis niaga gas, transportasi, pemprosesan, serta distribusi, kini hanya ada satu perusahaan. Begitu pula dalam hal pembangunan infrastruktur gas, seperti pipa transmisi dan pipa distribusi. Tak ada lagi persaingan dan tak ada tumpang tindih pembangunan infrastruktur.
Akuisisi Pertagas oleh PGN merupakan bagian dari rencana panjang pembentukan perusahaan induk minyak dan gas bumi. Hal itu sudah diawali dengan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2018 tentang Penambahan Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia ke Dalam Modal Saham Perseroan PT Pertamina. Pertamina selaku perusahaan induk kini membawahi PGN sebagai anak usaha.
Tentu saja, akuisisi tersebut membawa kabar efisiensi. Seperti yang digembar-gemborkan pemerintah, dalam hal ini Kementerian BUMN, integrasi Pertagas dengan PGN melalui akuisisi diharapkan menciptakan efisiensi dalam rantai bisnis gas bumi. Hal lain yang diharapkan dari akuisisi ini adalah memperkuat infrastruktur gas di dalam negeri serta menghemat biaya investasi. Sebab, tidak ada lagi duplikasi pembangunan infrastruktur antara Pertagas dan PGN. Sekali lagi, intisarinya adalah efisiensi.
Pertanyaannya, apakah integrasi dua perusahaan tersebut mampu membuat harga gas menjadi lebih murah? Dulu, publik dijanjikan penurunan harga gas oleh pemerintah melalui penerbitan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2016 tentang Penetapan Harga Gas Bumi. Perpres itu menyebutkan, jika harga gas bumi tidak dapat memenuhi keekonomian industri pengguna gas bumi dan harga gas bumi lebih tinggi dari 6 dollar AS per MMBTU, menteri dapat menetapkan harga gas bumi tertentu. Penetapan harga gas bumi tertentu dikhususkan bagi pengguna gas bumi bidang industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet.
Faktanya, belum semua sektor tersebut menikmati fasilitas penurunan harga gas. Bahkan, sebagian pelaku industri pengguna gas menyebut, mereka masih harus membeli gas seharga 8,9 dollar AS per MMBTU untuk wilayah Surabaya, Jawa Timur (Kompas, 28/5/2018).
Apakah memang sulit menurunkan harga gas seperti yang dijanjikan pemerintah? Atau, pemerintah tak cermat berhitung pada saat menjanjikan penurunan harga tersebut?
Harga tak kunjung turun. Kini pelaku industri kian diperberat dengan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Beban pelaku usaha semakin berat lantaran harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan gas. Pasalnya, penghitungan harga gas masih mengacu pada dollar AS.
Wakil Ketua Komite Industri Hulu dan Petrokimia pada Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Achmad Widjaja menyampaikan ide untuk menurunkan harga gas, yakni dengan memangkas mata rantai penjualan gas. Gas sebaiknya langsung dijual dari produsen ke pengguna akhir. Faktanya, niaga gas terkadang harus melewati proses di pedagang yang berlapis. Hal itu mengakibatkan tingginya harga gas sampai ke pengguna akhir.
Untuk menurunkan harga gas seperti yang dijanjikan pemerintah, menurut Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro, perlu integrasi dari hulu sampai hilir. Penurunan harga tak cukup dilakukan pada satu ruas mata rantai bisnis gas di dalam negeri. Integrasi Pertagas dengan PGN diyakini bisa memberi sinyal terciptanya harga gas yang lebih ekonomis.
Kementerian ESDM pernah membuat simulasi penurunan harga gas di bagian hulu dengan mengurangi bagian penerimaan negara. Jika komponen penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dihapus, negara berpotensi kehilangan pendapatan Rp 7 triliun per tahun. Jika PNBP dan Pajak Penghasilan (PPh) dihapus, potensi bagian negara yang hilang mencapai Rp 16,5 triliun per tahun. Hal ini jadi dilema.
Namun, janji sudah diucapkan dan mesti dipenuhi. (Aris Prasetyo)