JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah perlu bergerak cepat dalam menentukan dan melakukan langkah konkret untuk mengantisipasi dampak ketidakpastian global yang semakin kuat. Upaya yang bisa dilakukan antara lain menyeleksi impor dengan mengurangi impor yang belum mendesak serta mengatasi defisit minyak dan gas.
Ketidakpastian global antara lain akibat perang dagang yang tidak lagi antara Amerika Serikat dan China, namun sudah melibatkan Uni Eropa dan sejumlah negara lain. Selain itu, Bank Sentral AS, The Fed, masih akan menaikkan suku bunga acuan, Bank Sentral Eropa (ECB) akan mengurangi pembelian aset, dan Bank Sentral China (PBoC) memangkas giro wajib minimum.
Selain itu, harga minyak mentah dunia yang meningkat menekan neraca perdagangan RI. Data di laman Bloomberg, Rabu (4/7/2018) malam menunjukkan, harga minyak mentah WTI sebesar 73,72 dollar AS per barrel, sedangkan jenis Brent 78,07 dollar AS per barrel.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2018 defisit 1,52 miliar dollar AS atau setara Rp 21,44 triliun. Dari jumlah itu, sebagian besar berupa defisit di sektor migas, yakni sebesar 1,24 miliar dollar AS.
"Jika defisit neraca perdagangan terus meningkat, maka akan mendorong pelemahan rupiah. Rupiah bisa menguat jika investor asing yang masuk melalui portofolio dan penanaman modal asing dapat ditingkatkan," kata dosen Magister Kebijakan dan Perencanaan Kebijakan Publik Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Indonesia Berly Martawardaya kepada Kompas, Rabu (4/7/2018), di Jakarta.
Menurut Berly, Bank Indonesia (BI) telah berupaya menahan aliran modal asing yang keluar dan menarik investor asing masuk dengan menaikkan suku bunga acuan. Kendati langkah itu tidak populer, namun kebijakan itu merupakan solusi jangka pendek untuk meningkatkan portofolio sekaligus menunjukkan rupiah akan semakin bergantung pada modal asing.
Solusi lain adalah menarik investasi langsung atau penanaman modal asing yang benar-benar berorientasi pada ekspor dan meningkatkan pendapatan devisa dari pariwisata. Dengan kondisi infrastruktur yang membaik, Indonesia sebenarnya semakin kompetitif dan menarik bagi investor.
"Upaya jangka menengahnya, pemerintah harus memperbaiki defisit migas. Misalnya, mengurangi konsumsi bahan bakar minyak dengan memperbaiki transportasi publik dan meluncurkan kebijakan mobil listrik," kata dia.
Selektif
Pemerintah mengimbau masyarakat dan dunia usaha untuk lebih selektif mengimpor barang. Langkah ini dinilai mendesak dilakukan untuk memperbaiki transaksi berjalan yang defisit.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan, dunia usaha harus mulai meneliti tingkat kebutuhan impor. Masyarakat perlu memastikan agar komponen impor harus dipastikan bermanfaat bagi perekonomian di masa yang akan datang.
“Dunia usaha dan masyarakat melakukan impor. Kalau nilai tukar rupiah melemah, harga barang impor akan lebih mahal. Pastinya mereka yang melakukan impor akan lebih selektif,” ujarnya di Makassar, Sulawesi Selatan, kemarin.
Pemerintah, lanjut Suahasil, mendorong reformasi struktural untuk memperbaiki daya saing dan mengurangi defisit transaksi berjalan.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate kemarin, nilai tukar rupiah Rp 14.343 per dollar AS. Adapun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 1,77 persen atau 99,70 poin ke level 5.733,639.
Aksi beli investor asing dan minimnya aksi jual menopang penguatan IHSG.
Analis Indosurya Bersinar Sekuritas, William Surya Wijaya, menilai, aksi beli pelaku pasar asing mendongkrak IHSG.
“Gelombang dana yang masuk diharapkan dapat kembali ke pasar modal Indonesia demi mendongkrak kenaikan IHSG hingga beberapa waktu mendatang," ujar William.
Dia mengingatkan, pergerakan IHSG masih dipengaruhi nilai tukar rupiah.