JAKARTA, KOMPAS — Di tengah volatilitas perekonomian global, ketertarikan investor asing untuk berinvestasi di Indonesia tetap ada. Namun, karena tekanan pada rupiah belum mereda, investor menginginkan imbal hasil yang lebih besar. Obligasi jangka pendek berpotensi jadi pilihan investor.
Executive Vice President Schroders Indonesia M Renny Raharja, Kamis (5/7/2018) di Jakarta, menyampaikan, kondisi pasar modal dan uang di Indonesia tengah bergejolak karena pengaruh sentimen global. Kondisi ini tak hanya dialami Indonesia, tetapi juga hampir seluruh negara di dunia.
Menurut dia, kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika (The Fed) telah memicu keluarnya modal asing di negara-negara berkembang. Akibatnya, nilai tukar rupiah menjadi lemah.
Namun, menurut Renny, pelemahan nilai tukar rupiah bukan yang terburuk di Asia. Sejak awal 2018 hingga pertengahan tahun, rupiah terkoreksi sebesar 5,71 persen. Angka itu sedikit lebih baik dibandingkan rupee India yang merosot hingga 7,15 persen.
”Penyebab lainnya adalah dari beberapa bulan lalu impor kita jauh lebih besar dibandingkan ekspor,” kata Renny di Jakarta.
Berdasarkan data kurs Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) per 5 Juli 2018, nilai tukar rupiah melemah dari sehari sebelumnya menjadi Rp 14.387 per dollar AS.
Belum meredanya tekanan pada rupiah membuat minat pelaku pasar untuk menanamkan modalnya di Indonesia belum begitu tinggi. Itu karena mereka menginginkan imbal hasil obligasi yang lebih besar.
Imbal hasil obligasi di Indonesia saat ini untuk jangka waktu 10 tahun sebesar 7,8 persen. Sementara untuk imbal hasil obligasi dengan tenor setahun sebesar 7,4 persen.
”Mereka ingin imbal hasil lebih tinggi karena memperhitungkan aspek dari rupiah ini nantinya kepada total return yang mereka harapkan. Mereka minta lebih tinggi karena tekanan rupiah yang akan berdampak pada imbal hasil mereka,” tutur Renny.
Oleh karena itu, obligasi jangka pendek bisa menjadi pilihan bagi pelaku pasar. Selain karena selisih imbal hasilnya yang tak begitu besar dibandingkan obligasi jangka panjang, obligasi jangka pendek juga berisiko lebih rendah.
Hal itu tecermin dari reksa dana yang dikelola Schroders Indonesia. Renny mengungkapkan, hingga akhir Juni 2018 Schroders Indonesia memiliki dana kelolaan sekitar Rp 83,2 triliun. Reksa dana yang menjaring paling banyak dana kelolaan adalah reksa dana campuran dan obligasi jangka pendek.