JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan kendaraan listrik membutuhkan sinergi berbagai pemangku kepentingan, termasuk kalangan industri, pemerintah, dan perguruan tinggi. Toyota Indonesia pun bersinergi dengan enam perguruan tinggi negeri dalam melakukan riset dan studi komprehensif terkait kendaraan listrik.
”Kami berharap studi komprehensif tersebut dapat menjadi masukan akurat dalam pengambilan kebijakan dan pengembangan kendaraan listrik di Indonesia,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Jakarta, Rabu (4/7/2018).
Airlangga mengatakan hal tersebut saat memberikan sambutan pada acara ”Peluncuran Riset Komprehensif Electrified Vehicle dengan Melibatkan Perguruan Tinggi”. Acara digelar di Kementerian Perindustrian.
Presiden Direktur PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) Warih Andang Tjahjono mengatakan, bentuk partisipasi Toyota pada studi tersebut adalah dengan memberikan dukungan penyediaan 6 unit hybrid electric vehicle, 6 unit plug-in hybrid electric vehicle, dan 6 unit internal combustion engine vehicle (kendaraan konvensional dengan mesin pembakaran dalam).
”Selain itu juga data logger, charger, dan asistensi lainnya yang dapat dipergunakan oleh para peneliti dari enam universitas di Indonesia, yakni UI, ITB, UGM, UNS, ITS, dan Universitas Udayana,” ucap Warih.
Ia menuturkan, pihaknya meyakini bahwa upaya menumbuhkan industri nasional membutuhkan sinergi antara industri, pemerintah, dan akademisi. Toyota Indonesia berharap dukungan tersebut dapat membantu memetakan kondisi dan kebutuhan riil pelanggan.
”Selain itu juga untuk memetakan kesiapan sumber daya manusia, rantai pasok industri, dan infrastruktur pengembangan industri kendaraan elektrifikasi di Indonesia,” lanjut Warih.
Ia menyebutkan, pihaknya pun berharap seluruh penelitian dan studi tersebut dapat mendukung Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Perindustrian, dalam pembentukan peta jalan industri otomotif di Indonesia.
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Muhammad Dimyati mengatakan, riset merupakan salah satu upaya yang memungkinkan terjadinya lompatan kemajuan suatu bangsa. Salah satu variabel yang menentukan cepat lambat riset adalah anggaran.
Belanja bruto untuk riset dan pengembangan di Indonesia baru mencapai 0,25 persen per produk domestik bruto (PDB). Totalnya, untuk pemerintah atau swasta, sekitar Rp 30,8 triliun.
Dimyati menyebutkan, sekitar 85 persen dari belanja bruto riset dan pengembangan tersebut berasal dari pemerintah. ”Sementara di negara maju lain, dominasi anggaran riset hampir selalu dari swasta,” ujarnya.
Rasio belanja riset dan pengembangan per PDB di Indonesia tersebut lebih rendah dibandingkan dengan Thailand yang sudah 0,63 persen, Malaysia (1,3 persen), Singapura (2,07 persen), dan Jepang (3,8 persen).
Pemerintah berupaya memberikan dukungan dan komitmen bagi kegiatan riset. ”Undangan melakukan kegiatan riset seperti ini, yang akan dilakukan bersama, merupakan kebanggaan dan kesenangan bagi perguruan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan di Indonesia,” ucap Dimyati.
Dia menuturkan, Presiden baru saja mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2018 tentang Rencana Induk Riset Nasional 2017-2045. ”Salah satu tema dalam bidang fokus terkait dengan electrified vehicle,” katanya.