Bank Indonesia melonggarkan ketentuan rasio pinjaman terhadap simpanan atau LTV untuk pinjaman dan pembiayaan pembelian rumah. Ketentuan ini mengiringi kebijakan Bank Indonesia yang menaikkan suku bunga acuan. Selain kebijakan soal properti, Bank Indonesia juga membarengi dengan kebijakan terkait giro wajib minimum bank.
Untuk menghadapi kondisi perekonomian terkini, BI menaikkan suku bunga acuan atau BI 7-Day Reverse Repo Rate. Dalam enam pekan terakhir, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin atau 1 persen, menjadi 5,25 persen.
Ada kekhawatiran, kenaikan suku bunga acuan itu akan berdampak negatif terhadap perekonomian RI. Diperkirakan, transmisinya sekitar 1,5 tahun. Oleh karena itu, BI mengantisipasi dengan kebijakan yang akan mendorong perekonomian, salah satunya di sektor properti.
Mengapa properti? Sebab, sektor properti memberi dampak ikutan terhadap sektor lain. Contoh paling sederhana, orang yang membeli rumah, tentu tidak akan berhenti pada rumah saja. Ia akan membeli perabot dan segala macam kebutuhan yang diperlukan untuk mengisi rumah. Pembelian rumah merupakan awal dari belanja kebutuhan selanjutnya.
Rumah yang dibangun juga akan menggerakkan sektor properti dari sisi konstruksi. Permintaan rumah yang meningkat akan mendorong permintaan bahan bangunan, seperti semen, kayu, baja, keramik, kaca, dan sebagainya.
Dampak lain adalah penyerapan tenaga kerja di sektor konstruksi dan properti.
Sektor properti yang bergerak juga akan menjadi pendorong kredit. Sebab, sebagian besar pembeli rumah memilih kredit pemilikan rumah (KPR) untuk membiayai pembelian properti. Berdasarkan data Bank Indonesia per akhir 2017, sekitar 75,9 persen pembeli rumah menggunakan sarana KPR. Adapun 16,7 persen memilih membeli rumah secara tunai bertahap dan sekitar 7,3 persen lainnya membeli rumah secara tunai.
Bagi developer atau pengembang properti, kredit perbankan juga dibutuhkan. Data BI menunjukkan, sekitar 56,18 persen pengembang menggunakan dana internalnya. Adapun yang menggunakan pinjaman bank sekitar 26,97 persen dan yang memakai dana nasabah sekitar 12,28 persen dari total pengembang properti.
Melihat data-data itu, maka dorongan untuk sektor properti bisa menggerakkan berbagai sektor yang terkait dengan properti dan industri perbankan. Dengan kata lain, dampak kenaikan suku bunga acuan BI terhadap pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat dikompensasi oleh pertumbuhan sektor properti dan berbagai sektor lain yang kena dampak ikutan dari sektor properti tersebut.
Berdasarkan data per Mei 2018 yang dirilis BI, kredit sektor properti di Indonesia sebesar Rp 840,4 triliun, tumbuh 15,1 persen dalam setahun. Setengah dari kredit properti itu, yakni sebesar Rp 430,3 triliun, berupa KPR dan kredit pemilikan aparteman (KPA). Adapun sisanya berupa kredit konstruksi sebesar Rp 265,8 triliun dan kredit real estate sebesar Rp 144,3 triliun.
Pilihan mendorong sektor properti -sebagai salah satu sektor utama dalam perekonomian- pada praktiknya akan mendorong permintaan dan penawaran properti. Semua pihak, termasuk perbankan, tetap diminta untuk tidak melonggarkan kehati-hatian dalam mengucurkan kredit. Jika suatu saat sektor ini melaju sangat kencang dan berpotensi menimbulkan masalah, BI meyakinkan, akan kembali memperketat aturan untuk pembiayaan properti. Kita tunggu dampak dorongan sektor properti terhadap perekonomian RI.