JAKARTA, KOMPAS--Di tengah ketidakpastian perekonomian global, pelaku usaha kesulitan meningkatkan ekspor untuk mengurangi defisit neraca perdagangan Indonesia. Peningkatan ekspor terkendala perang dagang Amerika Serikat-China, hambatan perdagangan, harga rendah, serbuan produk impor, dan regulasi yang tak mendukung.
Ekspor karet, sebagai salah satu ekspor nonmigas utama Indonesia, terhambat perang dagang AS-China. China diperkirakan akan mengurangi produksi dan impor bahan baku karet alam karena produk itu akan kesulitan masuk ke pasar AS. Lalu, China akan mengalihkan ke pasar lain.
“Untuk masuk ke pasar AS, selain Thailand dan Malaysia, Indonesia bersaing dengan Vietnam dan India yang sudah menduduki posisi tiga dan empat negara produsen karet di dunia. Saya memperkirakan, tahun ini nilai ekspor karet dan produk karet akan turun sekitar 10-20 persen,” kata Ketua Umum Dewan Karet Indonesia Azis Pane kepada Kompas, Kamis (5/7/2018), di Jakarta.
Harga karet dunia di Tokyo Commodity Exchange sejak 29 Juni 2018 terus melemah. Pada 29 Juni 2018, harga karet 176,30 yen per kilogram (kg), yang pada 4 Juli 2018 ditutup melemah menjadi 171,10 yen per kg. Pelemahan itu terjadi karena pasar khawatir dengan rencana pemberlakuan tarif impor AS kepada China pada 6 Juli 2018.
Menurut Azis, karet alam dan produk karet nasional mendominasi pasar dalam negeri, yaitu sebesar 56 persen. Namun, sejak ada perubahan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Ban menjadi Permendag Nomor 6/2018, ban impor semakin melonjak.
Dalam ketentuan itu, spesfikasi ban impor tidak lagi dicek. Hal itu menyebabkan ban impor -yang sebenarnya dapat diproduksi di dalam negeri- masuk pasar Indonesia dan mengalahkah produksi dalam negeri.
“Di dalam negeri, kita bersaing dengan ban impor. Di luar negeri, pasar kita terhambat. Dengan kondisi itu, tidak akan mungkin ekspor karet alam dan turunannya meningkat dan berkontribusi optimal terhadap neraca perdagangan kita,” kata Azis.
Azis yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ban Indonesia (APBI) berharap pemerintah menyeleksi ban-ban impor yang masuk ke Indonesia. Pemerintah juga dapat mengurangi produk karet impor untuk pembangunan infrastruktur.
Lebih aktif
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono mengatakan, pemerintah perlu lebih aktif melobi pemerintah India untuk mengurangi pengenaan tarif bea masuk ekspor produk minyak sawit dan turunannya ke pasar India. Pengenaan tarif bea masuk -yang sebesar 54 persen- berdampak terhadap volume ekspor ke pasar India.
Selain itu, lanjut Joko, pemerintah perlu menjalin kerja sama perdagangan bebas (free trade agreement/FTA) dengan negara prioritas, seperti Banglades dan Turki, karena ekspor minyak sawit ke kedua negara itu cukup potensial dan cenderung meningkat. Dengan adanya FTA, diharapkan ekspor minyak sawit dapat terus ditingkatkan.
Joko memperkirakan, nilai ekspor minyak sawit dan turunannya tahun ini turun dibandingkan dengan 2017 karena harga kelapa sawit cenderung turun pada 2018. Harga rata-rata minyak sawit saat ini diperkirakan 620 dollar AS-630 dollar AS atau lebih rendah daripada harga rata-rata tahun 2017 yang sekitar 680 dollar AS-690 dollar AS.
Staf Khusus Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Edy Putra Irawady mengatakan, perang dagang AS-China akan menyebabkan Indonesia dan negara-negara berkembang lain kebanjiran produk impor. Sebab, negara yang ekspornya terhambat akan mengalihkan pasar ke negara lain.
Pemerintah akan mencermati dan lebih selektif terhadap aliran produk-produk impor itu. Pemerintah juga mewaspadai pengalihan barang produk negara lain untuk mendapatkan surat keterangan asal (SKA) dari negara tertentu.
“Pemerintah tidak akan mau menerima produk impor yang dijual lagi ke negara-negara lain menggunakan SKA dari Indonesia,” kata dia.
Di dunia usaha makanan dan minuman, upaya meningkatkan ekspor makanan dan minuman olahan menghadapi tantangan tarif dan nontarif. Tantangan nontarif antara lain menyangkut regulasi standar, label, dan ketentuan bahan tambahan pangan yang tidak seragam.
"Pertumbuhan rata-rata tiap tahun hanya sekitar 5 persen," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi S Lukman ketika dihubungi di Jakarta, Kamis.
Merujuk data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perdagangan, ekspor makanan olahan dan semiolahan pada 2016 sebesar 6,152 miliar dollar AS. Angka ini menjadi 6,504 miliar dollar AS pada 2017.