MAKASSAR, KOMPAS--Pengembangan industri halal di sektor riil dapat memacu penetrasi industri keuangan syariah di Indonesia. Namun, pertumbuhan industri syariah masih terhambat edukasi dan literasi terkait keuangan syariah yang terbatas.
Selain itu, pertumbuhan industri keuangan syariah berjalan lambat akibat aktivitas usaha dan industri produk syariah yang minim. Selama Indonesia hanya menjadi pasar produk-produk halal, maka aktivitas pembiayaan perbankan syariah akan rendah.
“Kalau industri halal semakin besar, akan muncul permintaan terhadap perbankan syariah untuk menyediakan pembiayaan, karena setiap bidang usaha pasti butuh pembiayaan,” ujar Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro, pada Konferensi Internasional Keuangan Syariah ke-3 di Makassar, Sulawesi Selatan, Kamis (5/7/2018).
Berdasarkan data Bank Dunia, penetrasi perbankan syariah di Indonesia pada 2017 baru 5 persen. Angka ini jauh di bawah Malaysia (24 persen) dan Arab Saudi (51 persen).
Bambang yakin, kemunculan pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) di industri halal berdampak pada penguatan industri keuangan syariah. Kemunculan UKM juga akan merangsang industri keuangan berplatform lain, termasuk teknologi finansial.
"Untuk menciptakan ekosistem keuangan syariah harus dimulai dari pertumbuhan UKM. Dengan begitu, industri halal di Tanah Air akan tumbuh, tidak sekadar jadi pasar,” ujarnya.
Head of Islamic Finance Bank Dunia, Abayomi A Alawode, menilai, keuangan syariah berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Ekosisitem keuangan syariah yang baik dapat mengurangi kesenjangan dan menjaga pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan.
Indonesia, lanjutnya, memiliki potensi untuk tidak sekadar menjadi pasar bagi produk syariah. Syaratnya, ada wirausaha baru atau pelaku usaha kecil yang terlibat di industri halal, yang dalam jangka panjang bisa membantu pertumbuhan ekonomi syariah di Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) Ronald Yusuf Wijaya mengatakan, tekfin syariah memberi alternatif bisnis yang lebih modern dari sisi teknologi dan akses luas kepada pasar. Tantangan utamanya adalah inklusi keuangan syariah di Indonesia.
Potensi
Secara terpisah di Jakarta, Wakil Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional Adiwarman A Karim menyampaikan, kombinasi industri halal dan pariwisata akan mempercepat penambahan devisa dalam jangka pendek. Tambahan devisa bisa diperoleh dari sektor keuangan syariah, mode, makanan dan minuman, hiburan dan rekreasi, serta remitansi dari tenaga kerja Indonesia.
Saat ini, pakaian, jilbab, dan konsumsi halal dari Indonesia mulai diminati di Afrika, Timur Tengah, dan Eropa.
“Beberapa jenis produk laku di pasar internasional karena dinilai kreatif dan umum atau dapat digunakan siapa saja,” kata Adiwarman kepada Kompas, Kamis.
Mengutip State of Global Islamic Economy Report 2017/2018, nilai belanja muslim global pada 2016 lebih dari 2 triliun dolar AS, yang diperkirakan menjadi 3,8 triliun dolar AS pada 2020. Belanja terbesar dari makanan dan minuman (1,24 triliun dolar AS), mode (254 miliar dolar AS), media dan hiburan (198 miliar dolar AS), serta pariwisata (169 miliar dolar AS).
Menurut Direktur Indonesia Halal Lifestyle Center, Sapta Nirwandar, potensi besar industri halal dalam negeri, terutama ekspor, belum digarap optimal. Geliat industri halal di Indonesia masih tertinggal dari Thailand, Taiwan, dan Korea Selatan.
“Selama ini Indonesia masih menjadi pasar,” kata Sapta.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menambahkan, kombinasi industri halal dan pariwisata di Indonesia akan menjadi daya tarik tersendiri.