JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menilai, penurunan Pajak Penghasilan final bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah atau UMKM dari 1 persen menjadi 0,5 persen melengkapi rangkaian kebijakan ekonomi bagi UMKM yang sudah dikeluarkan sebelumnya. Tujuan akhir dari semua kebijakan itu adalah mendorong UMKM lokal bisa naik kelas.
Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Iskandar Simorangkir menyampaikan hal tersebut di sela-sela diskusi Forum Merdeka Barat 9 ”Pemotongan Pajak UMKM adalah Manifestasi Keberpihakan Pemerintah”, Jumat (6/7/2018), di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta.
Dia menyebutkan, setidaknya terdapat lima kebijakan ekonomi bagi UMKM yang mendahului dikeluarkan. Pertama adalah Paket Kebijakan Ekonomi XII, berikutnya Program Kemudahan Impor Tujuan Ekspor, Kredit Usaha Rakyat (KUR) Berorientasi Ekspor, KUR UMKM dengan bunga 7 persen, serta Perpres No 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah.
Menurut Iskandar, semua kebijakan tersebut berupaya menjawab permasalahan yang biasa dialami UMKM. Sebagai gambaran, Paket Kebijakan Ekonomi XII mengenai kemudahan memulai usaha. Sebelum paket dikeluarkan, pengusaha harus melewati 13 prosedur, waktu pengurusan 47 hari, membayar Rp 6,8 juta-Rp 7,8 juta, serta wajib mengantongi lima izin terkait pendirian usaha.
Setelahnya, pengusaha cukup melalui tujuh prosedur, waktu pengurusan menjadi 10 hari, mengeluarkan biaya Rp 2,7 juta, dan wajib mengantongi tiga izin terkait pendirian usaha.
Di Indonesia, proporsi industri kecil tergolong besar, yaitu 93,4 persen, sementara skala menengah 5,1 persen, dan besar hanya 1,5 persen. Dia mencoba membandingkan situasi ini dengan negara tetangga. Contohnya, Filipina dengan proporsi industri kecil sebesar 64,6 persen dan Vietnam 59,4 persen.
”Tentunya, kami tidak mengabaikan kontribusi mereka terhadap penyerapan tenaga kerja dan produk domestik bruto. Kami menginginkan ada kenaikan kelas dari setiap tingkat, seperti usaha mikro menjadi kecil dan seterusnya hingga berskala besar,” tutur Iskandar.
Penurunan Pajak Penghasilan (PPh) final seperti terangkum di PP No 23/2018, lanjutnya, bertujuan membantu pengusaha mengembangkan usaha. Apalagi di dalam PP itu terdapat substansi mengenai batasan waktu untuk menggunakan PPh final sebesar 0,5 persen, yakni tujuh tahun untuk wajib pajak orang pribadi dan tiga tahun untuk wajib pajak badan.
Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Yuana Setyowati mengungkapkan, ada 17 kementerian/lembaga yang mengurus UMKM. Masing-masing telah memiliki program pembinaan. Di tingkat daerah, pemerintahnya juga mempunyai program sendiri.
Kementerian Koperasi dan UKM, misalnya, mempunyai program pembinaan sentra-sentra UMKM. Bahkan, kementerian ini memiliki Lembaga Layanan Pemasaran Koperasi dan UKM yang mengelola gedung pemasaran produk kerajinan kreatif karya UMKM seluruh Indonesia bernama SMESCO.
”Sudah saatnya setiap program ataupun kebijakan saling mendukung. Untuk menyokong PP No 23/2018, kami baru saja meluncurkan aplikasi laporan akuntansi mikro. UMKM bisa mencoba,” ujarnya.
Direktur Potensi Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal menyebutkan, dalam waktu dekat, Kementerian Keuangan akan mengeluarkan peraturan turunan dari PP No 23/2018. Isinya meliputi prosedur dan tata cara teknis.
Dia berpendapat, PP itu mempunyai beberapa kelebihan. Salah satunya adalah mendorong masyarakat pelaku UMKM ke ekonomi formal. Sejauh ini, kelembagaan dan legalitas usaha menjadi tantangan UMKM Indonesia bergerak maju.
”Di dalam PP itu memuat kebebasan memilih untuk menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan untuk omzet. Jika pembukuan ataupun pencatatan konsisten dilakukan, mereka memiliki data, dan ujungnya dapat mengakses pinjaman dari bank. Peluang bisnis mereka pun akhirnya naik kelas,” ucap Yon.
Pada 2017, terdapat sekitar 1,4 juta wajib pajak untuk UKM dengan rincian 1,3 juta wajib pajak orang pribadi dan 205.000 wajib pajak badan. Penerimaan pajak dari orang pribadi Rp 3,2 triliun, sementara penerimaan pajak dari badan Rp 2,5 triliun.