Gurita ”Bang Emok” di Ladang Petani
Jerat utang modal menggiring Herman (54) ke pinggiran. Pernah berstatus sebagai petani pemilik lahan warisan, Herman ”turun pangkat” menjadi penyewa lahan, lalu sejak tahun 2013 dia lebih sering menjadi buruh serabutan.
Bersama Emi (53), istrinya, Herman kini menggantungkan hidup sebagai penyeblok, sebutan bagi buruh tani kontrak dengan upah berupa bagi hasil panen.
Terlentang di pematang sawah di Bayur Kidul, Kecamatan Banyusari, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Herman melepas lelah, Rabu (18/4/2018). Dia berteduh di bawah pohon di atas rumput. Caping dipakainya menutupi wajah. Dia berusaha tidur.
Namun, belum juga tertidur, mobil bak terbuka yang ditunggu telah tiba. Castim (55), penyeblok lain, memintanya bergegas bangun. Keduanya lalu mengangkut karung-karung gabah dari pematang ke bak mobil yang telah diparkir di pinggir jalan. ”Hasil musim ini lumayan,” kata Herman.
Lumayan karena lebih tinggi dibandingkan sebelumnya. Pada panen pertama tahun ini, Herman dan istrinya mendapat upah 120 kilogram gabah dari seperempat bahu (sekitar 1.750 meter persegi) lahan tanggung jawabnya. Penyeblok umumnya dapat upah seperenam atau sepertujuh bagian dari total hasil panen. Penyeblok bertanggung jawab kepada petani penggarap untuk urusan menyiangi rumput, menyela tanaman yang rusak dengan bibit baru, dan memanen padi.
Namun, meski dianggap lumayan, upah sebanyak itu jauh dari cukup. Hasil 120 kg gabah itu setara 60 kg beras. Artinya, hanya cukup untuk kebutuhan pangan keluarga selama 2-3 bulan. Herman masih harus bekerja keras mencari sumber penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sekaligus menutup utang.
Herman sebenarnya telah lima tahun tidak menggarap sawah. Namun, utang modal tanam padi sebesar Rp 5 juta dari ”Bang Emok”, sebutan warga setempat ke seorang rentenir, belum juga terbayar. Dia sudah menggadaikan sertifikat rumah untuk mengurangi beban utang dan sebagian untuk modal kerja jualan bakso. Namun, hasil jualan bakso serba pas-pasan, sementara upah dari kerja serabutan tak tentu. Utang tak kunjung lunas dan justru jatuh ke rentenir atau pemberi utang lain.
Bertani padi memang penuh spekulasi. Cuaca kian tak tentu, hama penyakit dan hasil panen sulit diprediksi, sedangkan harga jual sering kali anjlok saat panen raya. Karakteristik ini yang kerap membuat petani gurem (kurang dari 0,5 hektar) dan penggarap kelimpungan. Hasil panen bahkan kadang tak cukup untuk menutup modal tanam.
Bunga tinggi
Karakteristik ini yang membuat petani kesulitan mengakses modal perbankan atau lembaga keuangan. Walhasil, petani jatuh ke tangan rentenir, sosok bermata dua. Keberadaan rentenir dianggap membantu di satu sisi karena syarat pinjaman yang mudah dan waktu pencairan yang cepat. Namun, pada sisi lain mereka menggorok peminjam dengan bunga tinggi.
Herman, misalnya, hanya perlu dua lembar fotokopi kartu tanda penduduk dan kartu keluarga untuk mendapatkan modal Rp 5 juta dari rentenir. Namun, dia harus mengangsur Rp 390.000 setiap dua minggu selama 1,5 tahun. Artinya, Herman harus membayar pokok pinjaman berikut bunga sebesar Rp 14,04 juta untuk pinjaman senilai Rp 5 juta dengan jangka waktu 78 minggu.
Pemerintah sejatinya punya program kredit berbunga rendah. Sejak tahun 2007 ada kredit usaha rakyat (KUR) yang dimaksudkan memperluas akses permodalan bagi pengusaha mikro kecil dan menengah ke lembaga keuangan. Dengan skema yang terus diperbaiki dan bunga yang diturunkan dari tahun ke tahun, KUR diharapkan melecut pengusaha kecil, termasuk petani, pekebun, peternak, dan nelayan agar tumbuh semakin besar.
Teknologi finansial yang menawarkan solusi permodalan juga berkembang pesat beberapa tahun terakhir. Lewat gawai, aplikasi pinjam meminjam bisa dijangkau warga perdesaan, bahkan jauh ke wilayah yang selama ini sulit diakses secara fisik.
Namun, tak sulit menemukan petani, pekebun, atau nelayan yang masih saja menjadi ”debitur” rentenir, termasuk di Pulau Jawa yang menjadi jantung perekonomian Indonesia. Tak hanya petani penggarap dan petani gurem, kesulitan modal juga dialami petani berlahan di atas 2 hektar.
Badan Pusat Statistik pada survei Struktur Ongkos Usaha Tanaman Padi 2017 menyebutkan, ada sejumlah alasan rumah petani tidak meminjam modal ke bank, antara lain karena alasan tidak punya agunan, prosedur yang berbelit-belit, lokasi bank yang relatif jauh, bunga yang relatif tinggi, serta alasan tidak tahu prosedur. Padahal, 11,4 persen dari 165.886 rumah tangga petani yang menjadi responden survei itu menghadapi kendala permodalan.
Pada akhirnya, rentenir dan kios sarana produksi menjadi solusi permodalan karena dianggap mudah dan cepat. ”Bang Emok” masih menggurita di ladang petani.
Di sejumlah desa di sentra-sentra padi di Jawa Barat, utang benih, pupuk, atau obat-obatan masih lumrah. Petani akan membayar utang setelah panen (yarnen). Padahal, secara hitungan, beban bunga yang ditanggung petani jauh lebih besar dibandingkan bunga kredit umum di lembaga keuangan.
Dalam struktur pertanian pangan nasional, sumbangan petani gurem sungguh dominan. Mereka adalah pelaku utama produksi padi, jagung, palawija, dan komoditas lain. Namun, situasi mendesak mereka ke pinggir.