JAKARTA, KOMPAS--Pertumbuhan ekonomi yang terkonsentrasi di Jawa dan wilayah barat masih menjadi tantangan utama pembangunan di Indonesia. Untuk menyelesaikan masalah ketimpangan antarwilayah ini diperlukan terobosan dan konsistensi kebijakan di tingkat daerah.
“Ketimpangan bukan masalah baru. Dalam paham sejarah, permasalahan itu pernah memicu pemberontakan di beberapa daerah Indonesia,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan Indonesia Development Forum 2018 di Jakarta, Selasa (10/7/2018).
Kalla mengatakan, ketimpangan ekonomi di wilayah timur Indonesia bisa memicu konflik sosial dan politik. Oleh karena itu, pemerintah giat membangun dan mengembangkan daerah terdepan, terluar, dan tertinggal. Perekonomian daerah dipacu berdasarkan kekhasan dan potensi sumber daya yang dimiliki masing-masing wilayah.
Di sisi lain, pemerintah daerah diharapkan tak hanya mengandalkan pemerintah pusat untuk mengatasi ketimpangan. Otonomi daerah justru memperluas wewenang pemerintah daerah untuk mengurai masalah itu. Dalam upaya mengatasi ketimpangan, kebutuhan dasar masyarakat harus terpenuhi, mulai dari air, sanitasi, listrik, hingga fasilitas kesehatan. Kreativitas pemimpin diperlukan untuk menarik investasi daerah dan menggenjot perekonomian nasional.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pertumbuhan ekonomi dalam dua dekade terakhir masih terkonsentrasi di wilayah barat Indonesia. Nilainya sekitar 80 persen produk domestik bruto (PDB). Jawa dan Sumatera selalu mendominasi pembentukan PDB, yang masing-masing berperan 58 persen dan 22 persen.
“Target pemerintah tahun 2045 belum bisa ideal. Dominasi Jawa diperkirakan hanya turun 5 persen menjadi 53 persen PDB. Penurunan 5 persen dalam 25 tahun itu bukan hal mudah dan tak ada jaminan itu bisa dilakukan,” kata Bambang.
Indikator ketimpangan wilayah Indonesia barat dan timur ditunjukkan dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Pada 2016, rata-rata IPM wilayah barat adalah 71,19. Adapun di Indonesia bagian timur 67,36. Adapun produk domestik regional bruto (PDRB) per kapita pada 2016 di wilayah barat Rp 42,43 juta dan di wilayah timur Rp 36,43 juta. (Kompas, 20/6/2018).
Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menambahkan, kesenjangan antarwilayah bukan hanya dari aspek infrastruktur, namun juga koneksi internet. Lanskap negara kepulauan menyulitkan pemasangan kabel optik karena harus melintasi perairan jarak jauh. Selain itu, operator belum tertarik mengembangkan internet di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal karena pasar yang kecil.
"Internet di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal, baik wilayah barat atau timur Indonesia akan tetap dikembangkan secara bertahap," kata Rudi.
Pusat ekonomi baru
Dalam kesempatan itu Bambang memaparkan, pemerintah fokus mengembangkan pusat-pusat ekonomi baru selain Jawa, hingga 2045. Pusat ekonomi baru tersebut bukan berbasis sektor pertambangan atau sumber daya alam yang bersifat sementara. Daerah di luar Jawa akan dikembangkan untuk industri pengolahan, seperti tekstil, otomotif, dan industri turunan sumber daya alam.
Arah pengembangan daerah yang dirancang Bappenas mencakup enam wilayah. Papua akan dikembangkan untuk basis pangan nasional dan sektor ekonomi berbasis SDA; Sulawesi untuk industri pangan dan gerbang kawasan timur; sedangkan Kalimantan untuk industri pengolahan dan lumbung energi nasional. Adapun Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku untuk basis wisata internasional dan perikanan nasional; Sumatera untuk industri baru dan gerbang kawasan Asia; serta Jawa untuk perdagangan dan jasa.
“Kalau ini terjadi, pertumbuhan ekonomi bisa ikut terbangun. Target pertumbuhan ekonomi 6 persen bisa tercapai dengan syarat kontribusi tidak hanya dari Jawa,” kata Bambang.
Gubernur Jawa Timur Soekarwo menambahkan, keterlibatan swasta untuk membantu pembangunan daerah sangat penting. Ia mencontohkan, pemerintah provinsi Jatim bekerja sama dengan sejumlah pihak swasta membangun Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) Umbulan untuk memfasilitasi 1,3 juta warga.