Pemerintah Kaji Insentif bagi Substitusi Bahan Baku Farmasi
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pemerintah menyiapkan insentif untuk mendorong pelaku industri beralih dari bahan baku impor ke bahan baku lokal. Saat ini sebagian besar bahan baku industri farmasi masih impor sehingga rentan terdampak pelemahan nilai tukar rupiah.
Menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, biofarmaka atau bahan baku farmasi yang berasal dari keanekaragaman hayati bisa diperoleh dan dikembangkan di dalam negeri. "Substitusi jadi solusi menurunkan ketergantungan pada bahan baku impor," ujarnya di pameran industri farmasi, kosmetik, dan jamu yang digelar di Kementerian Perindustrian di Jakarta, Selasa (10/7/2018).
Peluang mengalihkan penggunaan bahan baku impor ke lokal dinilai cukup besar. Hal itu tercermin di industri jamu. Oleh karena itu, Airlangga mendorong penelitian dan pengembangan biofarmaka lokal sebagai bahan baku. "Kami mendorong pertumbuhan pabrik produsen bahan baku farmasi tersebut di dalam negeri," ujarnya.
Kementerian Perindustrian juga tengah menyiapkan skema insentif untuk perusahaan-perusahaan yang menggunakan bahan biofarma dalam negeri dari hasil litbang pemerintah dan perguruan tinggi. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Industri (BPPI) Kementerian Perindustrian Ngakan Timur Antara mengatakan, pihaknya sedang mendiskusikan insentif yang disebut super deductable tax dengan Kementerian Keuangan.
Dari 90 persen total bahan baku impor di industri farmasi, Ngakan mengatakan, 40 persennya dapat disubtitusi dengan bahan biofarma lokal dalam lima tahun ke depan. "Waktu yang dibutuhkan memang panjang karena melibatkan beragam tes dan menyangkut hak kekayaan intelektual. Namun, kita harus mulai dari sekarang," tuturnya.
Produk farmasi berbahan baku biofarma lokal telah naik daun lebih dari lima tahun lalu. Wakil Ketua Umum Gabungan Perusahaan Farmasi Ferry Soetikno mencontohkan, PT Dexa Medica telah mengeluarkan 15 produk yang berbahan dasar biofarma.
Pada prinsipnya, pelaku industri farmasi terus meneliti kandungan aktif dalam biofarma untuk mengganti bahan baku impor. "Misalnya, kami telah menemukan zat aktif pada kulit kayu manis untuk mengganti ranitidin sebagai obat pencernaan," kata Ferry.
Ferry menambahkan, industri farmasi telah mengekspor produknya ke pasar-pasar di Asia Tenggara, Afrika, Inggris, dan Jerman. Dari 150 perusahaan yang bergabung, sekitar 20-30 perusahaan telah menjadi eksportir.
Imbas pelemahan rupiah juga dirasakan oleh industri jamu. Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia Rani Zarman mengatakan, ada kenaikan biaya produksi 5 persen akibat menguatnya nilai tukar dollar Amerika Serikat (AS) terhadap rupiah.
Adapun kenaikan tersebut disebabkan oleh impor bahan baku untuk komponen pendukung. "Misalnya kapsul untuk obat herbal. Bahan baku kapsul itu diimpor," ucap Rani.
Secara keseluruhan, kenaikan biaya produksi jamu dan obat tradisional selama semester pertama meningkat sekitar 20 persen. Rani berharap, akhir 2018 pertumbuhan industrinya dapat bertahan di angka 5 persen seperti tahun lalu.