JAKARTA, KOMPAS--Keputusan pemerintah untuk tidak mengajukan perubahan APBN 2018 tak berdampak signifikan terhadap iklim investasi. Di tengah ketidakpastian perekonomian global seperti saat ini, investor membutuhkan insentif fiskal jangka panjang.
Pada perdagangan Kamis (12/7/2018), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) membukukan kenaikan selama empat hari berturut-turut. Kemarin, IHSG ditutup pada posisi 5.907,872 atau menguat 0,246 persen. Investor asing membukukan beli bersih sepanjang perdagangan kemarin, sebesar Rp 136,87 miliar. Meski demikian, sejak awal tahun, investor asing masih membukukan jual bersih Rp 50,534 triliun.
Kemarin, nilai tukar rupiah berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate justru melemah menjadi Rp 14.435 per dollar AS.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Lembong mengatakan, target investasi tahun ini sulit terealisasi. Penyebabnya, antara lain, nilai tukar rupiah yang bergejolak di awal triwulan II dan tekanan perang dagang Amerika Serikat-China yang meningkat.
Pemerintah menyiapkan solusi agar investasi dan arus modal yang masuk ke Indonesia meningkat. “Harus kami akui kondisi cukup berat. Siklus politik juga memicu karena tahun sebelum Pemilu laju investasi cenderung melambat,” kata Thomas di Jakarta, Kamis (12/7/2018).
BKPM menargetkan investasi tahun ini Rp 765 triliun. Realisasi investasi per triwulan I-2018 sebesar Rp 185,3 triliun yang terdiri dari Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Rp 76,4 triliun dan Penanaman Modal Asing (PMA) Rp 108,9 triliun.
Menurut Lembong, sentimen positif yang dibutuhkan saat ini adalah pemberian insentif jangka panjang, seperti pembebasan pajak serta jaminan kelancaran ekspor-impor. Insentif pembebasan pajak banyak diberikan negara-negara kawasan Asia sebagai bentuk keseriusan pemerintah terhadap investasi dan investor.
“Sentimen pasar sangat sensitif. Kebijakan yang diambil tidak boleh blunder,” katanya.
Kebijakan yang diambil tidak boleh blunder.
Keputusan untuk tidak mengubah APBN 2018 menguntungkan dari segi penerimaan negara. Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, pendapatan disokong penerimaan negara bukan pajak dari sektor sumber daya alam, terutama migas, sebagai dampak kenaikan harga minyak dunia.
“Target pendapatan negara di APBN 2018 sebesar Rp 1.894,7 triliun kemungkinan besar tercapai walaupun realisasi pendapatan pajak berkisar 94-95 persen,” kata Prastowo.
Di APBN 2018, target penerimaan pajak Rp 1.618,1 triliun. Adapun belanja negara Rp 2.220,7 triliun, serta defisit anggaran terhadap 2,19 persen terhadap produk domestik bruto.
Terkait kinerja IHSG, Direktur Riset dan Investasi Kiwoom Sekuritas Indonesia, Maximilianus Nico Demus, mengatakan, penguatan didukung sentimen positif dari dalam negeri. Kepercayaan investor asing yang kembali mencatatkan pembelian bersih juga menjadi sentimen positif baru.
"Rilis data laporan keuangan dan kinerja emiten turut memengaruhi pergerakan positif IHSG,” ujarnya.
Sementara, Head of Economic & Research UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja menilai, dana investor asing yang sebelumnya sempat keluar dari dalam negeri akibat isu perang dagang antara China-AS telah kembali. Apalagi, investor melihat stabilitas kondisi fundamen perekonomian Indonesia.
“Kalau dilihat dari pasar obligasi, investor sudah masuk lagi. Kenaikan suku bunga acuan BI, stabilitas inflasi, dan imbal hasil obligasi kita saat ini menjadi magnet bagi investor,” ujarnya.
Menurut Enrico, keputusan pemerintah untuk tidak mengajukan perubahan APBN 2018 tidak banyak memengaruhi peningkatan ekspektasi pasar. Namun, keputusan ini secara tidak langsung keputusan telah meningkatkan ketahanan fiskal karena dapat dipastikan defisit fiskal tidak akan melebar.
Kalau dilihat dari pasar obligasi, investor sudah masuk lagi.
Konsumsi
Direktur Eksekutif Departemen Statistik Bank Indonesia (BI) Yati Kurniati mengatakan, industri berbahan baku impor rentan terhadap pelemahan rupiah. Industri tersebut di antaranya industri tekstil, kimia, dan farmasi.
“Berdasarkan survei kami, pelaku usaha berbasis impor tidak mengubah harga jual mereka, tetapi menurunkan marjin, tapi dia juga tidak mau sampai rugi,” kata Yati di Jakarta, kemarin.
Namun, ada perbaikan di triwulan II-2018, yang terlihat dari peningkatan penggunaan kapasitas produksi atau jasa. Sektor yang menunjukkan perbaikan signifikan di antaranya perdagangan, hotel dan restoran, keuangan, real estat, dan jasa.
"Kami survei 3.073 perusahan. Kami tanya apakah kapasitas yang digunakan meningkat dibandingkan sebelumnya. Kami lihat terjadi peningkatan penggunaan kapasitas dari 76 persen menjadi 78,4 persen," papar Yati.
Dalam siaran pers, Sekretaris Perusahaan PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk Setyadi Surya mengatakan, akumulasi pertumbuhan penjualan total pada Mei dan Juni 2018 sebesar 5,2 persen, yang ditopang peningkatan penjualan mode sebesar 10 persen. Namun, penjualan supermarket Ramayana turun 20,3 persen.
“Penurunan ini akibat kebijakan perusahaan yang menutup sejumlah supermarket untuk memberi peluang usaha lebih besar pada sektor mode,” tutur Setyadi.