Kedai Kopi di Kota Salatiga Kian Menjamur
SALATIGA, KOMPAS — Kedai kopi kian menjamur di Kota Salatiga, Jawa Tengah, menyusul tumbuhnya minat masyarakat di kota kecil yang sejuk itu, khususnya dalam lima tahun terakhir.
Sebagai kota pendidikan dan kota pluralisme, kehadiran sejumlah orang asing dari beberapa negara ternyata turut meramaikan kedai kopi. Tercatat 21 kedai kopi ada di kota kecil berpenduduk kurang dari 200.000 orang itu.
Pendiri sekaligus sesepuh Kopi Lover Salatiga (Koplo), Ardanta Satriya Winarko alias Dante, Sabtu (14/7/2018), saat ditemui di stan Koplo pada gelaran Salatiga Expo 2018 di Lapangan Pancasila, Salatiga, mengemukakan, Koplo merupakan wadah komunitas pencinta kopi yang saat ini anggota aktifnya sebanyak 32 orang. Koplo didirikan pada 2013 oleh para pencinta kopi yang cepat tumbuh di kota ini.
”Koplo awalnya sebagai wadah kumpul beberapa pencinta kopi, kebanyakan anak-anak muda. Semula berbagi mengenai seputar kopi, saling mencoba. Jika ada kopi dari luar, kami bersama berdiskusi sambil merasakan kopi baru,” ujar Dante, pemilik Kedai Kopi Priyayi.
Sebagai kota kecil, Salatiga sebenarnya punya beberapa usaha kopi yang sudah tua. Misalnya, Kopi Babah Kacamata yang dirintis Tan Tjun Gwan sejak 1966 di Kotawinangun, Salatiga. Usaha kopi rumahan yang kini diteruskan Astono, anak dari Tan Tjun, itu kini rata-rata bisa mengolah 20 kilogram kopi. Sebagai usaha kopi yang sudah lama, rasa kopi bubuk Babah Kacamata sangat digemari. Bahkan, kopi seduhannya sangat khas, teksturnya halus.
Dante menyebutkan membuka kedai kopi sejak 2012. Bisa dibilang, kedainya itu termasuk perintis. Di kedai itu, ia merangkap sebagai barista yang rata-rata per hari menghabiskan 1-2 kilogram kopi. Saat mendirikan kedai, dimulai dengan peralatan sederhana. Kini, setelah 6 tahun kopi berkembang, untuk mendirikan kedai kopi bisa menelan modal sampai ratusan juta rupiah.
Pegiat kopi lainnya yang bergabung dengan Koplo, Adi Waluyodiarto, mengatakan, kedai-kedai kopi yang tumbuh justru kebanyakan di gang atau kampung-kampung. Kampung merupakan pusat anak mahasiswa kos atau dosen yang tinggal sementara. Dosen itu kebanyakan dosen tamu dari sejumlah negara.
Adi yang membuka kedai di Jalan Kartini, salah satu jalan protokol di Kota Salatiga, membuka kedai kopi karena rasa cintanya pada kopi. Hobinya menikmati dan mengolah kopi akan sangat bermanfaat jika dibagikan kepada orang lain melalui kedai kopi yang sudah dikelolanya lebih dari lima tahun.
Ia percaya, usaha kopi tidak akan membuatnya kaya dalam sekejap. Namun, usaha kopi itu ia jalani dengan serius meskipun santai. Ada masa depan menjanjikan.
Salah satu tujuan keberadaan komunitas Koplo, menurut beberapa pemilik kedai kopi, para pemilik kedai bisa saling berbagi, misalnya berbagi menentukan harga kopi. Kesepakatan harga kopi di antara kedai-kedai kopi yang ada itu diputuskan bersama melalui Koplo.
Salah satu tujuan keberadaan komunitas Koplo, para pemilik kedai bisa saling berbagi, misalnya berbagi menentukan harga kopi.
Atas kesepakatan, rata-rata harga kopi standar di kedai Salatiga berkisar Rp 10.000 sampai Rp 30.000 per cup. Harga Rp 10.000 untuk harga kopi tubruk, sedangkan harga lain-lain merupakan harga kopi hasil olahan tiap kedai.
Pemilik Logos Cafe di Dukuh, Sidomukti, Munadi, menuturkan, tren penggemar kopi kian bertambah. Hal itu bisa dirasakan dari jumlah pelanggan kopi yang mengunjungi kedai. Jumlah kedai kopi lebih dari 20 usaha. Banyak di antara pemilik kedai kopi yang sudah lebih dulu buka, tetapi tidak bergabung dalam komunitas Koplo.
”Rekan-rekan pegiat kopi yakin, bisnis kopi berikut kedai kopi akan terus bertahan. Terlebih lagi, usaha pemerintah untuk mengangkat kopi ke dunia makin gencar. Bahkan, sentra-sentra kopi rakyat ataupun kopi perkebunan terus berkembang. Ini bisnis yang menjanjikan karena pengolah kopi tidak semata menjual kopi di kedai, mereka berkreasi juga, menjual kopi melalui online,” tutur Munadi, alumnus Fakultas Teknik Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga.
Setiap menengok kedai kopi yang ada di Salatiga, ada pemandangan khas, yakni selalu tersedia stoples-stoples berisi biji kopi. Di Kedai Kopi Priyayi, misalnya, terdapat 25 stoples berisi berbagai jenis kopi dari sejumlah sentra kopi di Indonesia. Dinamai Kopi Priyayi, kedai ini ingin meneguhkan bahwa menyajikan kopi tidak main-main karena konsumennya dari kalangan menengah ke atas.
Beberapa kedai menjadi langganan ekspatriat yang tinggal di Salatiga dan sekitarnya. Konsumen kedai juga banyak yang datang dari Ungaran, Magelang, Semarang, dan sekitarnya. Kopi yang paling banyak diminati pengunjung kedai adalah kopi arabika, sedangkan yang dipasarkan paling diminati adalah kopi robusta.
”Kopi Salatiga khas berasal dari bahan baku sentra perkebunan kopi rakyat di Randuacir, Tlogo, dan sekitarnya. Kopi arabika diminati, rasa kopinya yang tajam dan beraroma khas banyak jadi pilihan peminat kopi di kota dingin ini,” ujar Munadi.