Sudahkah pemerintah melalui perusahaan negara menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia? Belum. Sampai tulisan ini dibuat, saham pemerintah Indonesia melalui PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau Inalum masih sebesar 9,36 persen. Transaksasi jual beli saham belum benar-benar terjadi.
Publik kembali ramai memperbincangkan rencana penguasaan saham mayoritas PT Freeport Indonesia oleh pemerintah melalui Inalum. Pro dan kontra langsung merebak. Tak hanya soal mekanisme maupun untung rugi memiliki saham mayoritas Freeport, perdebatan juga terjadi pada pemberitaan yang mengesankan Indonesia benar-benar sudah memiliki 51 persen saham perusahaan tambang asal Amerika Serikat yang beroperasi di Papua itu.
Apa yang terjadi pada Kamis (12/7/2018) di Jakarta adalah penandatanganan kesepakatan antara Inalum dengan Freeport. Kesepakatan itu mengenai harga saham yang harus ditebus Inalum senilai 3,85 miliar dollar AS atau setara Rp 55,4 triliun dengan kurs Rp 14.300 per dollar AS. Kesepakatan yang disebut sebagai Head of Agreement itu ditandatangani Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin dan Presiden Direktur Freeport McMoran Inc, selaku induk usaha PT Freeport Indonesia, Richard Adkerson.
Sekali lagi, yang terjadi adalah kesepakatan akan membeli, bukan penandatanganan akad jual beli saham. Lebih 50 tahun beroperasi di Papua, saham pemerintah hanya 9,36 persen. Mengacu pada amanat Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Penambangan Mineral dan Batubara, perusahaan tambang milik asing harus mendivestasikan sahamnya tidak boleh kurang dari 15 persen kepada peserta Indonesia sejak berproduksi di tahun kesepuluh. Dengan kepemilikan saham 9,36 persen, maka perlu tambahan saham 41,64 persen untuk benar-benar mencapai 51 persen.
Kemudian ada yang mempersoalkan lagi, kenapa susah payah membayar mahal ongkos divestasi, padahal di 2021 kontrak operasi Freeport di Papua berakhir? Untuk apa repot mengeluarkan banyak uang membeli barang yang 3 tahun lagi menjadi milik Indonesia? Begitu kira-kira.
Betul bahwa Kontrak Karya (KK) PT Freeport Indonesia akan berakhir pada 2021. KK itu ditandatangani pada 30 Desember 1991 dan berlaku selama 30 tahun. Artinya, 2021 nanti adalah batas akhir operasi Freeport menambang di Papua. Hanya saja, ada ketentuan dalam isi KK yang menyatakan bahwa Freeport berhak memohon dua kali perpanjangan masing-masing selama 10 tahun secara berturut-turut. Pemerintah tidak akan menahan atau menunda persetujuan (perpanjangan) itu secara tidak wajar.
Klausul "secara tidak wajar" seperti yang tertulis pada Pasal 31 dalam KK memang multitafsir. Kedua pihak bisa silang pendapat mengenai alasan apa yang menyebabkan perpanjangan operasis 2 x 10 tahun tidak diberikan kepada Freeport. Namun, untuk sementara abaikan terlebih dahulu isi Pasal 31 tersebut dan diasumsikan kontrak Freeport tidak diperpanjang atau cukup sampai 2021 saja.
Pada Pasal 22 tentang pengakhiran kontrak karya disebutkan seluruh aset milik Freeport, baik yang bergerak dan tidak bergerak di dalam wilayah operasi pertambangan adalah masih milik perusahaan tersebut, bukan milik negara. Namun, mereka diharuskan menjualnya kepada pemerintah Indonesia dengan harga pasar atau dengan harga yang tidak boleh lebih rendah dari nilai buku. Apabila pemerintah enggan membeli, Freeport boleh menjual ke pihak lain atau memindahkan aset-aset tersebut dalam kurun 12 bulan sejak ditawarkan ke pemerintah.
Apabila Freeport benar-benar menarik seluruh aset operasi tambang mereka di lapangan, itu sama artinya pengelola yang baru harus memulai lagi dari awal. Menyusun ulang konstruksi dan mempersiapkan segala segala sarana untuk memulai produksi. Itu bukanlah pekerjaan mudah dan bisa dilaksanakan dalam waktu relatif singkat. Apalagi, medan di Mimika, Papua, yang menjadi area operasi Freeport saat ini, terbilang cukup berat dengan kondisi geografis berupa pegunungan. Secara kalkulasi bisnis, itu akan mengeluarkan lebih banyak biaya.
Selain biaya yang lebih banyak, akan ada jeda waktu sampai operasi yang baru bisa dilaksanakan. Selama jeda itu, bagaimana nasib ribuan karyawan? Bagaimana dengan penerimaan daerah setempat? Dampak sosial dan ekonomi yang ditanggung pemerintah daerah dan pusat akan berat. Sebanyak 91 persen Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Mimika bergantung pada operasi Freeport. Sementara bagi Provinsi Papua, operasi Freeport menyumbang 37,5 persen dari PDRB. Gejolak sosial dan ekonomi akan merembet ke hal-hal yang sifatnya politis. Dan itu sangat dihindari oleh para pengambil kebijakan.
Adapun soal untung rugi membeli saham mayoritas, yang kontra mengatakan bahwa dana utang untuk membeli saham akan memberatkan keuangan Inalum. Belum lagi mereka harus mengeluarkan biaya investasi tahunan yang tentu saja sebagai pemegang saham mayoritas, maka dana yang dikeluarkan juga besar. Termasuk pula persoalan memasarkan tembaga dan emas yang diproduksi.
Sementara yang pro berpendapat, dengan cadangan terbukti tembaga, emas, dan perak tersebut, yang bersedia meminjamkan uang bakal antre. Selain itu, penerimaan negara dipastikan lebih besar lewat penguasaan saham mayoritas oleh Inalum tersebut. Semua masih dalam batas perkiraan dan belum benar-benar terbukti. Apalagi, bisnis komoditas sangat terpengaruh oleh harga pasar.
Ada banyak perhitungan dalam proses ini. Semua masih dalam batas perkiraan dan masih menunggu peralihan saham benar-benar terealisasi. Apalagi, bisnis komoditas sangat dipengaruhi harga pasar.
Dalam persoalan divestasi saham Freeport ini, pemerintah harus mampu membuktikan kepada rakyat Indonesia bahwa keputusan mereka tepat. Besarnya saham harus mampu memberikan sebesar-besarnya kemakmuran bagi rakyat Indonesia, khususnya rakyat Papua.