Sepatu Lukis Nan Manis
Melukis bukanlah aktivitas yang ditekuni Nurinda Qhiqy Rachmawati (28) sebatas hobi. Kegemaran melukis justru jadi bekal yang mengubah hidup, ritme sebagai pekerja kantoran, sekaligus ruang mencurahkan energi dan ekspresinya. Dari hobi itu, lahirlah sepatu lukis, "Qyuta Lines" labelnya.
Qyuta adalah singkatan namanya dan nama suaminya, Asta. Adapun lines, yang dalam Bahasa Inggris bermakna garis-garis, menggambarkan aktivitasnya yang membuat garis atau coretan di atas sepatu.
Dibantu seorang karyawan, Qhiqy memproduksi 20-30 pasang sepatu lukis per bulan. Dengan peran serta sekitar 10 pedagang penyalur, Qyuta Lines merambah penjuru Nusantara, dari ujung Sumatera hingga Papua. Sebagian produk terdistribusi ke Malaysia dan Australia.
Motif lukisan sepatu tergantung permintaan pelanggan. Mayoritas adalah gambar tokoh kartun dan action hero. Sesuai permintaan pula, gambar sepatu kanan dan kiri berbeda, dan saat dipadukan bisa membentuk wujud hewan, tokoh kartun, atau membentuk jalinan cerita.
Kreativitas pun terus berkembang seturut permintaan pelanggan. Kalangan ibu-ibu muda, misalnya, kini gemar membuat sepatu pasangan, gambar sepatu dibuat mirip dengan sepatu mungil buah hatinya.
Qhiqy pun membuat talenan lukis. Papan kayu yang biasa dipakai sebagai alas mengiris aneka bumbu ini banyak dipesan sebagai kado atau kenang-kenangan wisuda. Lukisan yang dipesan biasanya gambar dari sosok yang diwisuda. Qhiqy memproduksi hingga 30 talenan lukis setiap bulan.
Sepatu lukis produksi Qyuta Lines ditawarkan dengan harga Rp 140.000 -200.000 per pasang. Dengan semua aktivitas produksi tersebut, baik sepatu maupun talenan lukis, Qhiqy bisa meraup omzet Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan.
Sejak kecil
Qhiqy memang gemar melukis sejak kecil. Hasil karyanya sering memancing perhatian dan dikagumi oleh orang lain. Termasuk teman-teman sekolahnya.
Tak heran teman-temannya, semasa SMP dulu, sering meminta jasa gambarnya. Gambar yang dimaksud seringkali merupakan gambar yang diminta guru sebagai tugas sekolah.
Kondisi itu berlanjut ketika dia memasuki bangku kuliah. Saat kuliah di Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) di Solo, teman-teman kos Qhiqy banyak yang memintanya menghias dinding kamar kos, baik lukisan atau kata-kata.
Keisengan sebatas menyenangkan teman itu berubah ketika dirinya melihat sepasang sepatu lukis di etalase toko. Harganya yang lebih dari Rp 400.000 membuatnya gemas dan tertantang. “Karena saya suka dan bisa melukis, maka ketika itu, saya pikir tidak ada salahnya mencoba membuat sendiri,” ujarnya.
Tahun 2014, Qhiqy mencoba-coba sendiri, berbekal pengetahuan teknik melukis sepatu dari internet. Dia pun praktik dengan cat akrilik. Sepatu karyanya dia pakai sendiri. Tak disangka, banyak teman berminat. Mereka memesan dan membelinya. Promosi pun berjalan, dari mulut ke mulut. Pemesanan sepatu juga terus meningkat.
Ketika itu, Qhiqy melukis 20-30 pasang sepatu per bulan. Semua pesanan dibuat di sela-sela kuliah. Di awal, sepatu ditawarkan seharga Rp 60.000, lalu naik hingga Rp 90.000. Kesibukan ini dia jalani hingga lulus kuliah dan bekerja di sebuah pengembang perumahan di Jakarta. Pekerjaan “sampingan” melukis dan menjual sepatu dijalani hingga Qhiqy menikah. Saat hamil, dia tetap tetap melukis.
Akan tetapi, karena sebatas usaha sampingan, pekerjaan itu dilakoni sebatas kemampuan dan diupayakan tidak menganggu pekerjaan utama. “Ketika pesanan terlalu banyak, biasanya saya langsung off, pasang status close order sementara waktu,” ujarnya.
Selang beberapa bulan setelah melahirkan, Qhiqy memutuskan berhenti kerja, dan memilih pulang dan membesarkan anaknya di kampung halaman bersama orang tuanya di Menowo,Kelurahan Kedungsari, Kecamatan Magelang Utara, Kota Magelang, Jawa Tengah.
Tak bergantung suasana
Tahun 2017, Qhiqy memutuskan untuk memusatkan seluruh perhatian dan memilih bekerja mandiri. Dia berwirausaha membuat sepatu lukis. Dengan mengandalkan media sosial serta relasi dari teman dan saudara, dia menjalankan usaha.
Pekerjaan seni dan berhubungan dengan aspek keindahan, menurut Qhiqy, dipengaruhi oleh suasana hati (mood). Namun, karena melukis sepatu sudah menjadi pencaharian utamanya, dia berusaha dan memaksa dirinya agar suasana hati tidak menganggu pekerjaanya. “Tidak mungkin saya menuruti kondisi mood,” ujarnya.
Qhiqy lebih sering melukis di malam hari. Dia melukis dengan bebas, berpindah-pindah, dan memakai ruangan apa saja. “Saya bisa melukis di mana saja karena yang saya butuhkan hanya kuas, cat dan sepatu,” ujarnya.
Kini, dia ngin terus mengembangkan kreativitas. Di talenan, misalnya, dia kini mulai memakai tambahan ornament seperti bunga. Di sepatu, dia mencoba berbagai model. Tidak hanya sepatu bertali, dia juga mencoba beragam model tanpa tali.
Selain sepatu warna putih, Qhiqy melukis di atas sepatu berwarna warni. Terkadang gambar hanya berada di depan dan belakang sepatu. Namun, sesuai permintaan, dia juga bisa melukis di semua sisi sepatu.
Qhiqy terus berkreasi untuk menghasilkan talenan dan sepatu lukis manis yang menarik hati.