Cinta untuk Jeruk Tak Hendak Terpuruk
Masa jaya jeruk keprok (Citrus nobilis) selayar dari Sulawesi Selatan telah lama berakhir. Luas tanam dan produksinya terus menyusut. Namun, ada segelintir petani yang setengah mati menjaganya agar jeruk ini tak punah.
Aroma asam jeruk menyeruak dari kebun Daeng Siago (55) di Dusun Lambongan, Desa Bontonasaluk, Kecamatan Bontomatene, Kabupaten Kepulauan Selayar, Minggu (8/7/2018). Jeruk masak sekitar 1.900 buah telah habis dipanen. Saat dijual, harganya Rp 2.000-Rp 3.500 per buah, tergantung ukuran.
”Seandainya datang kemarin, saya petikkan jeruk masak,” ujar Siago sembari mencari jeruk ukuran besar dengan menaiki tangga. Tangga satu kaki setinggi 5 meter bekas untuk panen itu masih tersandar di pohon. Agar seimbang, tali diikat pada tiga sudut pohon.
Di antara pohon jeruk, tampak lima kambing. Kotoran kambing itu menjadi pupuk bagi 150 pohon jeruk milik Siago. Kotoran, air kencing kambing, serta batang pisang jadi pupuk organik bagi jeruk. Sebagai imbalan, Siago menyuguhkan rumput dan jeruk bagi ternaknya. Sejumlah seng dipasang di antara pohon agar kambing tak kehujanan.
Begitulah cara Siago memberikan cinta pada tanamannya. Merawat jeruk sama saja dengan memelihara kambing, ”menghidupkan” satu sama lain. Cara itu sudah dilakukan turun-temurun. Bahkan, petani pernah mendatangkan truk bermuatan kotoran kambing dengan biaya jutaan rupiah.
Kedatangan jeruk ke Selayar punya banyak versi. Salah satunya diduga datang bersama cinta, saat Sawerigading dan istrinya yang berasal dari China, We Cudai, menanam bibit jeruk itu ratusan tahun lalu. Sawerigading adalah tokoh sentral Sulawesi Selatan. Konon, dia piawai membuat kapal. Itu sebabnya, jeruk selayar disebut ”Munte Cina” dalam bahasa setempat. Versi lain, jeruk diyakini mulai ditanam tahun 1925.
Ulet
Seperti mewarisi semangat Sawerigading yang diyakini ulet, Siago juga tekun melindungi tanaman jeruk meski dengan cara sederhana. Obat rasa buah dipasang di sebuah botol air mineral berlubang. Dari lubang itu, hama seperti lalat buah masuk ke botol, terjebak di sana lalu jatuh ke air dan mati.
Bekas sayatan di batang pohon juga bukan tanpa arti. Hal itu dilakukan Siago mencegah penyebaran penyakit diplodia (Botryodiplodia theobromae Pat.) yang ditandai getah putih. Setelah disayat, batang itu ditaburi tanah. Jadi tak perlu racun tanaman kimia yang membutuhkan biaya ratusan ribu rupiah.
Untuk memastikan jeruknya sehat, menurut Siago, ia harus setiap hari ke kebun hingga panen tiba. Jeruk biasanya panen tujuh bulan sekali setelah belajar berbuah pertama kali, saat pohon berusia 4-5 tahun.
”Dari hasil jeruk, saya kasih sekolah anak-anak. Supaya jangan kayak saya, bicara saja susah,” ujar Siago yang tak tamat SD.
Asruddin, anaknya, lulusan pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar, dan menjadi dosen di Gorontalo. Sementara Umaryasin, anaknya yang lain, lulusan Universitas Negeri Makassar dan menjadi guru di Selayar.
Meski membantu kehidupan Siago, jeruk tak lagi jadi primadona. Puluhan petani lain sudah menyerah saat pohon jeruk mati kena penyakit dan berganti menanam pohon mete. Hanya dia dan Iman, petani lain, yang masih bertahan.
Siago belum ingin menyerah. Ia keras kepala mempertahankan jeruk. Dibantu anak bungsunya, ia membuat 200 bibit baru. Dalam tiga tahun terakhir, tetangganya mulai menanam lagi. Harapannya, tahun depan sudah panen.
Kelesuan jeruk yang jaya pada tahun 1990-an itu tidak hanya terjadi di Bontomatene. Sentra jeruk lain, seperti Bontoharu dan Bontosikuyu, kena imbas. Jejak truk yang dulu hilir mudik mengangkut jeruk tak terlihat lagi. Jika tahun 1996, luas lahan jeruk mencapai 6.750 hektar, kini hanya 1.944 hektar.
Kondisi lahan yang tersisa pun memprihatinkan. Sebagian lahan sudah uzur membuat produktivitas pohon jeruk rendah, bahkan ada yang tak berbuah lagi. Jika tahun 1980-an produksi satu pohon mencapai 1.000 biji, kini hanya 300 biji.
Tidak hanya itu, jeruk setempat sulit dipasarkan ke luar pulau. Harganya mahal karena ditambah ongkos transportasi. Kalau di Selayar, harga tiga jeruk Rp 10.000, di Makassar bisa mencapai Rp 15.000. Selayar menjadi satu-satunya kabupaten di Sulsel yang terpisah lautan.
Duduk bersama
Pemerintah daerah setempat sulit mencari solusi. Arifuddin, penyuluh pertanian di Desa Batangmatasapo, Kecamatan Bontomatene, mengatakan, beberapa cara menyelamatkan jeruk sudah dilakukan. Salah satunya mendatangkan ahli hama dan penyakit. Namun, hasilnya belum signifikan.
Kepala Bidang Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Selayar Muzakkir Muin mengakui, masa jaya jeruk telah lewat. Tanamannya sudah tua, lebih dari 20 tahun dan produktivitasnya menurun. Setiap tahun, pihaknya meremajakan 10 hektar kebun jeruk dengan bantuan 10.000 bibit jeruk gratis. Namun, minat generasi muda menanam jeruk tidak seperti dulu.
”Walaupun kami bantu banyak, kalau mereka tidak mau buka lahan, sama saja,” ujar Muzakkir.
Hari di Selayar semakin senja saat Djamarong (72), petani jeruk di Desa Batangmatasapo, masih penuh semangat bicara perihal jeruk selayar. Sesepuh kelompok tani jeruk A’ Munte Sibatu (satu biji jeruk) ini sesekali masih rajin memetik jeruk meski harus berjalan menggunakan tongkat dan menghadapi gagal panen akibat anomali cuaca.
”Dulu, kemarau bisa empat bulan, lalu hujan di bulan Januari. Ini yang bikin tanaman berbuah. Sekarang, enggak jelas kapan kemarau dan musim hujan,” ujar Djamarong yang bertani jeruk sejak 1960-an.
Djamarong juga tak menyerah. Filosofi nama kelompok taninya, yang kurang lebih berarti, seiya sekata, bersatu untuk mengembalikan kejayaan jeruk selayar. Semua pihak harus duduk bersama apabila ingin memupuk cinta membawa jeruk itu kembali ternama.