JAKARTA, KOMPAS--Proses divestasi saham PT Freeport Indonesia dituntut transparan dan akuntabel. Transparansi dapat mencegah kekeliruan informasi yang diterima publik dan mencegah politisasi opini.
Koordinator Nasional Publish What You Pay Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah menuntaskan polemik kontrak Freeport menjelang masa berakhirnya kontrak pada 2021. Akan tetapi, kendati pokok-pokok perjanjian (head of agreement/HoA) sudah ditandatangani pekan lalu, namun proses divestasi belum tuntas.
Pokok perjanjian itu ditandatangani Freeport McMoran Inc, selaku induk usaha PT Freeport Indonesia, dengan PT Indonesia Asahan Aluminum (Persero) atau Inalum.
"Selain itu, rangkaian proses divestasi harus transparan dan akuntabel. Bagaimana metode menghitung nilai kepemilikan saham Indonesia pada Freeport? Itu yang harus dijelaskan kepada publik," kata Maryati saat dihubungi, Minggu (15/7/2018), di Jakarta.
Maryati menambahkan, transparansi merupakan hal krusial agar publik mendapat informasi yang benar atas seluruh proses yang berlangsung. Dengan demikian, kekeliruan informasi dapat dicegah, termasuk upaya mempolitisasi opini akibat transparansi yang terbatas.
Secara terpisah, Head of Corporate Communications Inalum Rendi A Witular mengatakan, penandatanganan dokumen HoA pada pekan lalu menunjukkan kemajuan yang signifikan. Menurut dia, dokumen HoA yang ditandatangani Inalum dengan Freeport McMoran tersebut sama artinya menyelesaikan 85 persen dari seluruh rangkaian proses divestasi Freeport.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan, hal yang tak kalah penting adalah soal tanggung jawab Freeport untuk memulihkan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan selama operasi berlangsung. Hal itu mengacu pada audit Badan Pemerika Keuangan. "Jangan sampai beban tersebut menjadi beban Inalum seiring rencana penguasaan saham mayoritas di PT Freeport Indonesia," ujar Fabby.