Harga Komoditas Turun
Harga sejumlah komoditas merosot. Tak hanya sawit dan karet, harga kelapa dan pinang juga terus turun. Hilirisasi harus dilakukan untuk angkat harga.
TANJUNG JABUNG TIMUR, KOMPAS - Anjloknya harga sejumlah komoditas tidak hanya berlanjut pada sawit dan karet. Harga berbagai komoditas hasil kebun lain pun dibayangi kehancuran.
Harga kelapa kini mencapai penurunan terparah. Sejak dua bulan terakhir, harga kelapa turun dari Rp 500.000 per kuintal menjadi hanya Rp 200.000. Itu berarti, 1 kilogram buah kelapa hanya bernilai Rp 200. Hal serupa terjadi pada kopra.
Sementara itu, harga pinang kering yang sebelum Lebaran masih Rp 15.000 per kg, turun menjadi 13.000 pada Juni lalu, dan kini menjadi Rp 10.000 di tingkat petani. Dibandingkan dua tahun lalu, saat harga pinang mencapai Rp 20.000, kejatuhannya kali ini mencapai setengah harga.
”Padahal, pinang dan kelapa adalah sandaran utama pencarian kami,” ujar Zainuddin, petani di Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi, Minggu (15/7/2018).
Sebagian petani menunggu kondisi harga pinang membaik. Di kebun-kebun budidaya pinang, buah-buah yang berwarna kuning berserak di bawah pohon. Semestinya buah-buah itu dipanen, tetapi dibiarkan saja oleh petani. ”Nanti saja kalau harganya sudah bagus lagi, baru kami urus,” kata Zainuddin.
Penurunan harga panen turut menekan upah buruh kupas pinang. Di desa itu, upah buruh kupas dipangkas dari Rp 2.000 per kilogram hasil kupasan, menjadi Rp 1.000.
”Kalau dihitung-hitung, upah sudah tidak bagus lagi, tapi kami tidak punya pilihan pekerjaan lain,” ujar Ida, salah seorang buruh yang masih bertahan mengupas pinang di desa itu. Sejumlah usaha pengupasan pun menyetop aktivitasnya untuk sementara.
Di Kecamatan Mendahara Ulu, harga buah sawit tertekan menjadi hanya Rp 500 per kg, dari bulan lalu yang masih Rp 1.200-Rp 1.500 per kg. Menurut Abdul, petani setempat, anjloknya harga persis dengan situasi tahun 2008-2009 serta pada 2013. Saat itu, harga sawit terperosok hingga di harga Rp 300 per kg. Dalam situasi tersebut, perekonomian daerah terpuruk.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jambi, nilai ekspor Jambi turun 2,65 persen. Ekspor minyak sawit dari 16,79 juta dollar AS menjadi 15,70 juta dollar AS. Ekspor karet dan olahan, dari 48,9 juta dollar AS turun menjadi 48,4 juta dollar AS. ”Begitu pula ekspor pinang turun dari 12,3 juta dollar AS menjadi 9,9 juta dollar AS,” Kata Dadang Hardiwan, Kepala BPS Provinsi Jambi.
Hilirisasi
Pengamat ekonomi dari Universitas Batanghari, Jambi, Pantun Bukit, mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah lama memiliki rencana membangun industri hilir untuk mengangkat nilai tambah sawit, karet, ataupun pinang. Rencana itu akan dikembangkan di Kabupaten Tanjung Timur dan berjalan terpadu dengan pembangunan Pelabuhan Ujung Jabung. Namun, realisasinya lambat.
Meskipun saat ini di tingkat desa sudah dibangun unit-unit pengolahan komoditas, kenyataannya tak berjalan optimal. Bahkan sebagian besar unit usaha pengolahan itu mati suri. Unit usaha tak berjalan karena petani terkendala modal.
Minimnya industri hilir, hasil panen petani hanya dipasarkan dalam bentuk bahan mentah yang memiliki harga rendah dan mudah terpengaruh fluktuasi di pasar dunia.
Itu sebabnya, kata Pantun, petani di Jambi sulit meraih kesejahteraan. Rendahnya tingkat kesejahteraan tecermin dari nilai tukar petani (NTP) di Jambi yang selalu berada di bawah indeks 100, lebih dari lima tahun terakhir. Juni lalu, indeks NTP Jambi hanya 99,1, turun 0,27 persen dibandingkan Mei lalu. Indeks NTP di bawah 100 menandakan hasil yang diperoleh petani lebih rendah dibandingkan biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan produksi.
Pantun melanjutkan, hilirisasi harus berjalan jika pemerintah serius untuk mengangkat kesejahteraan petani. ”Kebutuhan untuk hilirisasi sudah sangat mendesak. Jika tidak, komoditas asal Jambi takkan punya daya saing,” katanya. (ITA)