Kerugian Rp 105,7 Triliun Akibat Praktik Ilegal
SEMARANG, KOMPAS--Total kerugian akibat kecurangan investasi pada periode 2007-2017 mencapai Rp 105,7 triliun dengan potensi korban hingga jutaan orang. Selain tidak memiliki izin kegiatan, pelaku berpotensi merugikan masyarakat melalui praktik investasi ilegal.
Otoritas Jasa Keuangan meminta masyarakat lebih jeli sebelum berinvestasi.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi, Tongam Lumban Tobing kepada wartawan di Semarang, Jawa Tengah, Sabtu (14/7/2018), menyebutkan, sejak Januari 2018 sampai dengan akhir Mei 2018, sedikitnya 78 entitas dinilai merugikan masyarakat. Kegiatan entitas itu antara lain investasi uang atau perdagangan berjangka (future trading) yang dilakukan 33 entitas usaha, uang virtual 15 entitas, serta multi level marketing dan kegiatan lainnnya 10 entitas.
Pada 2017, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menghentikan 80 perusahaan karena melakukan investasi bodong atau ilegal. Dari perusahaan itu, sebanyak 30 entitas di antaranya menawarkan investasi uang. Adapun entitas lainnya menawarkan investasi mata uang asing, uang virtual, properti, saham, serta manajemen aset, deposito berjangka, dan pelunasan utang.
Menurut Tongam, praktik investasi bodong sebenarnya sudah berlangsung sejak bertahun-tahun lalu. Namun, laporan bertambah dengan pembukaan saluran pengaduan sehingga trennya terkesan naik.
“Pelakunya orang-orang itu saja. Mereka sudah pernah dijatuhi sanksi, tetapi kembali menjalankan investasi ilegal dengan nama lain dan perusahaan lain,” ujarnya.
Imbal hasil tinggi menjadi iming-iming yang ditawarkan pelaku. Oleh karena itu, masyarakat diimbau lebih cermat terkait risiko investasi dan keamanan data pribadi sebelum menandatangani kontrak. Calon konsumen juga perlu mengecek legalitas usaha terkait ke OJK.
Kepala Grup Inovasi Keuangan Digital dan Pengembangan Keuangan Mikro OJK, Triyono, Minggu (15/7/2018), menambahkan, terkait pemantauan penyelenggara teknologi finansial (tekfin), OJK menggandeng pihak ketiga, terutama asosiasi fintek. Cara ini diharapkan memperkuat pengawasan sekaligus meminimalisasi kecurangan.
Potensi kecurangan berpeluang terjadi di tengah literasi keuangan yang masih rendah. Pemahaman terhadap produk dan jasa keuangan atau literasi keuangan nasional pada 2016 baru 29,7 persen. Oleh karena itu, menurut Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara, segenap pihak perlu mengedukasi publik.
Pengaduan
Terkait layanan informasi dan pengaduan layanan jasa keuangan, OJK memperkenalkan kontak 157. Nomor ini telah diperkenalkan pada awal tahun ini untuk memperluas cakupan layanan sekaligus menggantikan pusat kontak sebelumnya, yakni 1500655.
Tirta menambahkan, kontak 157 merupakan saluran bagi konsumen untuk bertanya dan mengadu terkait layanan jasa keuangan. Nomor baru tersebut diharapkan lebih mudah diingat dan mengoptimalkan kepentingan masyarakat. Selain layanan informasi, kontak 157 menerima pengaduan dan permintaan penyelesaian dugaan pelanggaran terkait penyelenggaraan jasa keuangan. Saluran ini juga mencakup sistem layanan informasi keuangan (SLIK) atau layanan permintaan informasi debitur serta Sistem Informasi Penerimaan OJK (SIPO).
Sejak diperkenalkan awal tahun ini, kata Tirta, ada perubahan terkait layanan kontak. Ketika menggunakan nomor 1500655, jumlah telepon yang masuk berkisar 1.700-1.800 per bulan. Namun, sejak menggunakan nomor 157, telepon masuk mencapai lebih dari 4.000 per bulan, dengan subyek terbesar terkait permintaan informasi debitur atau SLIK.
Beberapa layanan lain yang dimanfaatkan konsumen melalui penggunaan nomor pusat layanan itu adalah permintaan informasi terkait legalitas Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dan non-LJK, edukasi produk atau layanan. Ada juga pertanyaan terkait prosedur pengaduan ke OJK serta perizinan usaha dan produk jasa keuangan.