Perusahaan BUMN PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) sebagai perusahaan induk BUMN industri pertambangan telah menyepakati pokok-pokok perjanjian divestasi saham 51 persen PT Freeport Indonesia. Nilainya sekitar 3,85 miliar dollar AS atau lebih kurang Rp 55 triliun dengan nilai tukar Rp 14.300 per dollar AS.
Kesepakatan itu masih berupa pokok-pokok perjanjian (head of agreement/HoA) dengan Freeport McMoran, induk perusahaan PT Freeport Indonesia (PT FI). Memang, eksekusi kepemilikan saham sebesar 51 persen itu memang masih membutuhkan waktu. Untuk membereskan dokumen turunan dari HoA saja setidaknya perlu waktu dua bulan.
Akan tetapi, setidaknya kesepakatan itu terjadi setelah 50 tahun pemerintah Indonesia hanya menguasai presentase saham yang kecil, yaitu 9,36 persen. Ditambah lagi, upaya untuk menguasai saham dalam jumlah yang lebih besar terkesan masih kurang keras.
Padahal, setidaknya dalam kontrak karya (KK) tahun 1991, diatur bahwa PT FI harus melepas saham 51 persen kepada perusahaan Indonesia (Indonesian nationals) dalam 20 tahun sejak KK ditandatangani, yaitu tahun 2011.
Mengapa pemerintah Indonesia melalui perusahaan BUMN pada akhirnya perlu menguasai saham Freeport Indonesia? Jawaban atas pertanyaan itu tidak terlepas dari kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo yang ingin menjalankan pemerintahan sesuai amanah konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Sebagai negara di daerah tropis, Indonesia dikarunia kekayaan alam luar biasa. Di hutan belantara Papua, ternyata terkandung kekayaan emas dan tembaga. Selain emas dan tembaga, masih banyak tambang yang dikelola BUMN, seperti timah, bauksit, batu bara, dan nikel.
Sebagai gambaran, cadangan sumber daya mineral yang dikuasai perusahaan induk BUMN industri pertambangan diperkirakan senilai 470 miliar dollar AS atau sekitar Rp 6.700 triliun. Jika sumber daya mineral yang dihasilkan itu dapat diolah menjadi produk bernilai tambah, nilai tambahnya bisa mencapai lebih dari dua kali lipat atau 200 persen.
Artinya, hilirisasi produk pertambangan akan memberi kontribusi yang besar terhadap produk domestik bruto (PDB). Prinsip pengelolaan sumber daya alam atau sumber daya mineral adalah harus dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menghasilkan produk bernilai tambah. Dengan cara itu, akan memberi manfaat yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat.
Oleh karena itu, penguasaan 51 persen saham PT Freeport Indonesia tersebut jangan hanya dimaknai memperoleh bagi hasil keuntungan atau dividen. Dengan menguasai 51 persen saham PT Freeport Indonesia, PT Inalum (Persero) sebagai BUMN harus bisa memastikan bahwa hilirisasi industri pertambangan terus dilakukan.
Sebagai agen pembangunan, BUMN tidak hanya mencari keuntungan. Namun, perusahaan BUMN juga mesti mengembangkan usaha industri pertambangan yang berkelanjutan, melakukan hilirisasi produk pertambangan, membuka lapangan kerja, dan pada akhirnya membangun perekonomian nasional.
Divestasi saham PT Freeport Indonesia oleh perusahaan induk BUMN industri pertambangan memang dinilai strategis untuk mengembangkan industri di masa depan. Amerika Serikat dan Jepang tumbuh sebagai negara maju karena didorong industri, seperti industri otomotif dan teknologi informasi.
Contoh hilirisasi, misalnya, produk tembaga dapat diolah menjadi berbagai produk, seperti batang tembaga atau kawat tembaga. Hasil olahan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri, seperti industri kendaraan listrik, telekomunikasi, dan teknologi informasi. Bukan hanya kebutuhan industri di masa sekarang, namun juga industri di masa depan.
Cadangan mineral PT Freeport Indonesia, terutama di blok-blok tambang bawah tanah masih sangat besar. Cadangan emas dan tembaga dalam jumlah besar itu hendaknya dimanfaatkan dengan baik bagi kemakmuran masyarakat.
Jika nilai tambah produk bisa ditingkatkan, tentu manfaat yang akan diperoleh juga semakin besar. Meskipun, memang, memberi nilai tambah pada produk memerlukan upaya ekstra. Akan tetapi, upaya itu pasti sebanding dengan hasil yang diperoleh.