Tiga Wastra dalam Sepotong Baju Dian Oerip
Sepuluh tahun lalu, Dian Errakumalasari hanyalah karyawan yang senang bepergian. Perjalanannya dari satu daerah ke daerah lain di negeri ini membuka matanya. Ternyata, Indonesia kaya sekali dengan berbagai jenis wastra. Perjalanan hidupnya pun berubah arah, dari seorang backpacker menjadi perancang busana. Dari perjalanan keliling Nusantara menjadi perjalanan keliling dunia.
”Saya ini lulusan teknik kimia, tteapi ternyata kerja kantoran sepertinya bukan jiwa saya,” kata Dian sembari menyeruput teh leci di hadapannya ketika kami bertemu di Jakarta, Jumat (30/6/2018).
Kain-kain Nusantara yang indah kemudian menggerakkan Dian untuk menyusunnya menjadi baju siap pakai dan memperkenalkan kepada lebih banyak orang. Dia juga ingin membuat penenun dapat terus berkarya karena kainnya laku dan apik di tangan perancang.
Di tangan Dian, batik, lurik, tenun diolah menjadi baju-baju menarik, dapat dipakai oleh semua usia, termasuk kids zaman now di bawah label Oerip Indonesia.
”Dahulu, orang beranggapan bahwa yang memakai batik, tenun, adalah ibu-ibu mapan. Rancangannya pun berat dan kaku, sekarang tidak lagi, wastra dapat diolah menjadi berbagai bentuk,” kata Dian lagi.
Dian memadukan berbagai jenis wastra menjadi baju yang menarik dan nyaman digunakan. Dalam satu baju, dapat terdiri atas wastra dari tiga tempat berbeda.
Tenun gedog Tuban, tenun Badui dan tenun Nunkolo dari Nusa Tenggara Timur juga berpadu menjadi satu baju. Baju lain, terdiri atas tenun Molo, tenun Boti dan tenun Amanuban. Bisa juga perpaduan antara batik, lurik, dan jumputan.
”Coba lihat bajuku ini, ditambah kain bisa dipakai untuk pergi undangan, tambah celana pendek, bisa dipakai naik gunung,” kata Dian sembari menunjuk pada baju tenun hitam dengan aplikasi tenun Ayutopas dari Pulau Timor.
Dian mengaplikasikan tenun tanpa memotongnya, paling hanya dipotong sedikit untuk membentuk bagian lengan. Menurut dia, ini merupakan penghormatan kepada para penenun. Lagi pula, ketika tenun dipotong, bisa-bisa menjadi aneh karena bentuknya tidak simetris lagi.
Cara mengerjakannya pun unik. Perancang busana ini mengaku tidak pandai menggambar. Rancangan ada di kepalanya langsung diwujudkan menjadi baju. Dibantu empat penjahit, dalam satu hari dapat dihasilkan 16-20 potong baju siap pakai. Harganya dari Rp 300.000 per potong hingga jutaan rupiah per potong.
Banyak anak muda yang kantongnya belum terlalu tebal meminta Dian untuk memproduksi baju dengan biaya terjangkau. ”Kalau berbahan lurik dan batik masih bisa masuk untuk konsumen muda. Setidaknya ini merupakan jalan pembuka atau awal mereka untuk mencintai wastra Nusantara. Kelak, mereka akan tetap mencintai wastra,” ujar Dian. Dian juga memproduksi tas dan sepatu dari berbagai jenis wastra.
Menjaga kelestarian wastra juga memberi kehidupan bagi para penenun. Selembar kain memang dapat dikerjakan berbulan-bulan. Semakin lama orang enggan menenun karena mencari pekerjaan lain yang menghasilkan uang lebih cepat dan lebih banyak. Lama kelamaan, produsen wastra akan lenyap. Dian bertekad ikut melestarikan wastra Nusantara dengan membuat baju yang digemari sehingga permintaan kain terus ada.
Tidak berjarak
Sebulan terakhir, Dian memindahkan rumah produksinya ke kota kelahirannya di Ngawi, Jawa Timur. Rumah itu diberi nama Oemah KaOeripan, Rumah yang Menghidupkan.
Sebelumnya, Dian membuat karyanya di rumahnya, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat. Permintaan orangtuanya agar Dian menemani mereka di masa tua selalu mengganggu pikirannya. Hingga akhirnya dia membuat keputusan besar memindahkan rumah produksi di Ngawi.
”Sebenarnya saya juga tidak punya toko. Toko saya ada justru di Belanda. Untuk pemasaran di dalam negeri, saya memanfaatkan media sosial. Ini pemasaran zaman now,” ujar Dian. Melalui Instragram dian_oerip, misalnya, produknya sudah terjual di lebih dari 20 negara.
Sebenarnya saya juga tidak punya toko. Toko saya ada justru di Belanda. Untuk pemasaran di dalam negeri, saya memanfaatkan media sosial.
Dengan pemasaran secara daring, di mana pun baju diproduksi, tetap dapat menjangkau para pencintanya. Memindahkan rumah produksi ke Ngawi diharapkan juga dapat menjadikan kota kecil itu menjadi salah satu tujuan jika ada pencinta wastra yang melintas di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.
”Nanti, dari Solo ke Ngawi cuma 30 menit lho lewat jalan tol,” katanya senang dengan infrastruktur yang baru dibangun.
Pemindahan rumah produksi ke Ngawi juga memengaruhi suasana hati para penjahit. Ketika rumah produksi berlokasi di Cikarang, mereka harus berpisah dari keluarga di Ngawi. Dengan pindahnya rumah produksi tersebut ke Ngawi, para penjahit dapat berkumpul bersama keluarga sehingga lebih produktif lagi.
Timnya tidak hanya terdiri dari penjahit saja, tetapi juga fotografer dan videografer yang rajin mengunggah baju-baju Dian ke media sosial. Juga video-video kegiatan rumah produksi Dian, termasuk berbagai peragaan busana.
Timnya tidak hanya terdiri atas penjahit saja, tetapi juga fotografer dan videografer yang rajin mengunggah baju-baju Dian ke media sosial.
Kemajuan teknologi membuat jarak antara produsen dan konsumen semakin dekat. Hal ini disadari benar oleh Dian. Pemasaran bajunya lebih banyak dilakukan secara daring dengan narasi-narasi informatif mengenai wastra yang digunakan. Bagi Dian, dia tidak sekadar senang dengan pembeli yang mengapresiasi bajunya, tetapi juga saat pembeli itu menghargai dan memahami makna wastra yang ada di bajunya karena setiap wastra memiliki kisah berbeda.
”Membuat baju dengan wastra Nusantara ini juga merupakan perwujudan kecintaan saya terhadap perbedaan. Budaya kita sangat indah, keberagaman, kebinekaan ini, perbedaan ini indah. Baju saya merupakan perwujudan dari keberagaman,” kata Dian bersemangat.
Peragaan di pasar
Dian mengakui, jarang memperagakan produknya pada pergelaran-pergelaran fashion besar. Dia lebih sering menggelar karyanya di jalan atau di pasar. Pertengahan Juli ini, dia akan menggelar karyanya di Pasar Melolo, padang savana Walikiri di Sumba Timur, dan kampung adat Praijing di Sumba Barat.
”Pasar Melolo adalah pasar penenun. Tidak banyak orang yang tahu bahwa setiap Kamis, para penenun membawa kain ke pasar itu. Peragaan busana di Pasar Melolo merupakan bentuk penghormatan saya kepada para penenun. Busana yang diperagakan adalah kain-kain mereka buat sendiri, saya lilitkan pada anak-anak setempat yang menjadi modelnya,” kata Dian.
Busana Dian sudah diminati pelanggan di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia. ”Hanya saya belum bisa masuk ke Benua Afrika, moga-moga bisa nanti,” kata Dian penuh harap. Setiap tahun, setidaknya ada tiga kali peragaan busana ke kota-kota di Eropa juga Amerika.
Setiap kali ada peragaan busana, karyanya laris dibeli. Hanya saja, ada satu yang mengusik Dian. Ketika memamerkan karyanya di Paris, banyak orang mengira wastra dari Sumba yang dibawanya berasal dari Afrika. Kenyataan itu membuatnya semakin tertantang untuk memperkenalkan wastra Indonesia.
Tidak pusing dijiplak
Soal persaingan usaha seperti penjiplakan karyanya, Dian mengatakan tidak terlalu ambil pusing. Secara positif dia mengatakan, jika karyanya dijiplak berarti semakin banyak yang menyukai.
”Lagi pula, karya saya tidak ada yang asli. Saya tidak berani klaim bahwa karya saya adalah karya asli, karya pertama. Semua karya itu terinspirasi dari karya-karya sebelumnya. Hanya Tuhanlah yang menciptakan karya yang benar-benar asli,” ujarnya sembari tersenyum.
Malam semakin larut. Dian pun pamit. Mengambil ranselnya, juga tas selempang berbahan tenun Maumere. Dia pun melanjutkan petualangannya.