Pada Mei 2015, Presiden Joko Widodo secara resmi meluncurkan program pembangunan pembangkit listrik 35.000 megawatt. Program ini lahir untuk menaikkan rasio elektrifikasi dari 84,5 persen pada 2014 menjadi 97,4 persen pada 2019. Nilai investasi proyek raksasa ini diperkirakan sebesar Rp 1.100 triliun.
Program 35.000 MW ini terdiri dari 291 pembangkit, 732 transmisi sepanjang 46.000 kilometer yang terdiri dari 75.000 set tower dan 1.375 gardu induk yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemerintah membagi porsi pembangunan 35.000 MW yang terdiri dari 10.000 MW oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dan 25.000 MW oleh produsen listrik swasta. Bisa dibayangkan betapa besarnya pengadaan barang dan jasa untuk proyek ini.
Untuk mencegah megaproyek tersebut menjadi bancakan pemburu rente, pemerintah campur tangan langsung mengawal jalannya proyek. Dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan ketika itu, pada September 2015, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti, Kepala Kejaksaan Agung Prasetyo, dan Direktur Utama PLN Sofyan Basir, bersepakat bahwa setiap potensi pelanggaran dalam proyek ini akan diselesaikan secara internal. Menurut Luhut saat itu, pertemuan tersebut untuk menaikkan moral pejabat PLN agar tidak ragu-ragu mengambil keputusan terkait proyek 35.000 MW.
Tak cukup di situ, dari segi perangkat hukum, pemerintah lantas menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Begitu pula dalam hal pembebasan lahan sudah ada pedoman berupa Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Semuanya untuk memuluskan program unggulan pemerintahan yang sekarang ini.
Namun, lazimnya proyek pengadaan barang dan jasa di Indonesia, apalagi terdapat ratusan proyek bernilai triliunan rupiah, tetap saja membuat para pemburu rente tergoda. Modusnya bisa macam-macam. Bisa lewat penggelembungan nilai proyek, spesifikasi bodong, maupun jasa makelar proyek. Jasa makelar ini bisa dilakukan siapapun yang punya akses ke lingkar kekuasaan atau pengambil keputusan. Hasilnya adalah, antara lain, "fee" yang didapat dari pemenang proyek.
Hal yang patut dicemaskan dari praktik kotor tersebut di atas, terkait program elektrifikasi, berdampak pada penjualan tarif listrik ke konsumen maupun mutu program elektrifikasi itu sendiri. Praktik suap atau pemberian "fee" selalu menciptakan inefisiensi. Bagaimana kalau suap atau "fee" itu dikompensasikan ke proyek yang dikerjakan?
Sebagai contoh, spesifikasi mutu komponen diturunkan, kadar kalori batubara (untuk bahan bakar PLTU) dikurangi, atau, yang tidak kalah buruk, tarif jual beli tenaga listrik dipermahal. Siapa yang paling dirugikan? Konsumen alias pelanggan. Siapa dia? Rakyat!
Dalam program 35.000 MW, selain untuk memenuhi kebutuhan listrik industri skala besar, juga untuk menyediakan akses listrik bagi rakyat Indonesia yang selama ini, bahkan ada yang sejak lahir, belum menikmati penerangan lampu listrik. Mereka tinggal di desa-desa terpencil, wilayah terluar dan terdepan. Mereka juga rakyat Indonesia yang memiliki hak sama dengan rakyat lain yang sudah mapan dan nyaman dalam hal akses terhadap listrik.
Akan tetapi, cita-cita menaikkan rasio elektrifikasi harus dibarengi dengan upaya sungguh-sungguh membebaskan program 35.000 MW bebas dari praktik tercela. Pencegahan dan penegakan hukum harus dilaksanakan. Apalagi, Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa dirinya akan turun langsung mengawasi jalannya proyek ini saat peluncuran program 35.000 MW di Yogyakarta.
Praktik cela dalam upaya keras pemerintah menggairahkan investasi bisa menurunkan kepercayaan investor. Seolah stigma negatif tak kunjung hilang. Untuk melancarkan urusan proyek, perlu pelicin (baca: suap). Ini akan kontra produktif di tengah kerja keras mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Program 35.000 MW mulia. Menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam hal ketersediaan listrik. Namun, tanpa kekuatan tekad untuk mewujudkan cita-cita itu, program ini ujung-ujungnya hanya menjadi ajang perburuan rente untuk kepentingan sesaat. Tak adil bagi rakyat, tak adil pula bagi mereka yang sudah bersungguh-sungguh bekerja keras menerangi seluruh pelosok Indonesia.