Komoditas Pangan Pengaruhi Kemiskinan
JAKARTA, KOMPAS--Kontribusi komoditas pangan terhadap garis kemiskinan semakin besar. Hal ini dapat memperlambat laju penurunan kemiskinan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi komoditas pangan terhadap garis kemiskinan pada Maret 2017 sebesar 73,31 persen. Kontribusi komoditas pangan meningkat menjadi 73,48 persen pada Maret 2018.
Berdasarkan data BPS. jumlah penduduk miskin pada Maret 2018 sebanyak 25,95 juta orang atau 9,82 persen dari jumlah penduduk. Pada Maret 2017, jumlah penduduk miskin 27,77 juta orang atau 10,64 persen dari jumlah penduduk.
Dalam setahun terakhir, Maret 2018-Maret 2018, jumlah penduduk miskin Indonesia berkurang 1,82 juta orang.
Pada periode September 2017-Maret 2018, BPS mensinyalir penurunan jumlah penduduk miskin melambat karena harga beras naik cukup tinggi. Pada September 2017, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 26,58 juta orang atau 10,12 persen dari jumlah penduduk.
Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (16/7/2018), menyampaikan, pada periode September 2017-Maret 2018, harga beras naik 8,57 persen. Hal itu menyebabkan garis kemiskinan naik 3,63 persen, dari Rp 387.160 per kapita per bulan pada September 2017 menjadi Rp 401.220 per kapita per bulan pada Maret 2018.
Untuk rumah tangga yang berada di 40 persen lapisan terbawah, rata-rata pengeluaran per kapita per bulan meningkat signifikan, yaitu 3,06 persen.
"Laju penurunan kemiskinan menjadi tidak secepat periode Maret-September 2017. Untuk itu, pemerintah perlu benar-benar menjaga stabilitas harga pangan jika ingin mempercepat laju penurunan kemiskinan," ujarnya.
Pada periode Maret-September 2017, jumlah penduduk miskin turun 1,19 juta orang. Adapun pada September 2017-Maret 2018, jumlah penduduk miskin hanya turun 633.200 orang.
Menurut Suhariyanto, penurunan jumlah penduduk miskin tahun ini terbantu sejumlah faktor, terutama jaring pengaman sosial. Bantuan sosial (bansos) tunai dari pemerintah tumbuh 87,6 persen pada triwulan-I 2018.
"Jumlah bansos itu lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan I-2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen. Selain itu, program beras sejahtera dan bantuan pangan nontunai pada triwulan I-2018 juga didistribusikan sesuai jadwal," kata dia.
Ketimpangan
Berdasarkan data BPS, angka ketimpangan atau rasio gini per Maret 2018 turun 0,004 dibandingkan dengan Maret 2017. Rasio gini pada Maret 2017 sebesar 0,393, sedangkan pada Maret 2018 turun menjadi 0,389.
Provinsi dengan ketimpangan tertinggi adalah DI Yogyakarta, dengan rasio gini 0,441, sedangkan rasio gini terendah adalah Bangka Belitung sebesar 0,281.
Rasio gini yang mendekati nol menunjukkan ketimpangan semakin berkurang.
Kendati secara nasional rasio gini turun cukup baik, namun rasio gini di desa meningkat. Rasio gini di desa pada Maret 2017 sebesar 0,320. Sementara, pada pada Maret 2018 meningkat menjadi 0,324.
Kondisi ini berkebalikan dengan ketimpangan di kota, yang semakin rendah. Rasio gini di perkotaan pada Maret 2018 sebesar 0,401 atau lebih baik dari Maret 2017 yang sebesar 0,407.
"Masyarakat desa, khususnya yang berpenghasilan rendah, perlu mendapat perhatian pemerintah. Perlu kebijakan multisektoral untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan lapangan pekerjaan,” tambah Suhariyanto.
Peneliti senior Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Profesor Carunia Mulya Hamid Firdausy menilai, penurunan jumlah penduduk miskin lambat. Hal itu terjadi karena kebijakan untuk menyediakan lapangan kerja, baik di kota maupun di desa, masih belum terealisasi secara maksimal.
Hal itu juga terlihat dari pergerakan ekonomi nasional yang masih lambat, sehingga kurang meningkatkan serapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Pertumbuhan ekonomi nasional dalam beberapa waktu terakhir berkisar 5 persen, belum meningkat secara signifikan.
“Faktor lain yang juga memperlambat penurunan kemiskinan adalah kenaikan harga pangan pokok yang cukup tinggi,” kata dia.
Terkait ketimpangan di desa yang meningkat, Carunia mengemukakan, program padat karya, dana desa, dan bantuan sosial masih belum cukup untuk menekan ketimpangan di desa. Dana-dana yang diterima masyarakat itu bersifat sementara atau pada saat program itu bergulir.
Padahal, masyarakat desa memerlukan peningkatan pendapatan secara berkelanjutan. Salah satu solusinya adalah membuka lapangan kerja di desa dan meningkatkan pendapatan petani.
“Harga beras yang tinggi selama ini hanya dinikmati para pedagang, pengepul, dan pemilik lahan pertanian. Petani kecil dan buruh tani kurang mendapatkan perhatian,” kata dia.
Fokus
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui, penurunan angka kemiskinan di Indonesia, amatlah menggembirakan. Penurunan itu menunjukkan kebijakan perekonomian yang dilakukan pemerintah sudah benar.
Berbicara dalam peringatan 10 tahun PT Adaro Energy Tbk melantai di Bursa Efek Indonesia, Senin, di Jakarta, Sri Mulyani menuturkan, tahun ini sekitar Rp 2.200 triliun akan dibelanjakan pemerintah, termasuk untuk mengatasi kemiskinan, pembangunan sumberdaya manusia, serta memperbaiki tata kelola institusi dan pemerintahan. Hal ini yang menjadi fokus pemerintah untuk memperbaiki tingkat hidup rakyat.
"Untuk pertama kalinya tingkat kemiskinan kita 9,82 persen. Dahulu di masa Pak Harto (Orde Baru) pernah berada di angka sekitar 11 persen, lalu krisis, dan kemiskinan naik lagi," jelas Sri Mulyani.