Pemagangan Nasional Menjadi Program Prioritas
JAKARTA, KOMPAS - Program pemagangan nasional menjadi kebijakan prioritas untuk mengatasi kesenjangan ketrampilan. Selama setahun berjalan, pelaksanaan program dirasa belum maksimal.
Program pemagangan nasional diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No 36 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Salah satu bentuk implementasinya adalah penandatangan nota kesepahaman antara Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia pada 2016.
Sesuai data Kemnaker, sampai akhir 2017, jumlah perusahaan penyelenggara magang mencapai 1.051. Total peserta program tercatat 60.491 orang. Dari jumlah itu, baru sebanyak 6.726 orang di antaranya mengikuti sertifikasi di lembaga sertifikasi profesi. Hasil sertifikasi menunjukkan hanya 6.424 orang dinyatakan lulus sebagai tenaga kompeten. Persentase pekerja bersertifikat yang akhirnya terserap industri berkisar 60-70 persen.
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Bambang Satrio Lelono, Senin (16/7/2018), di Jakarta, mengatakan ada beberapa tantangan penyelenggaraan program pemagangan nasional. Salah satunya adalah masih terbatasnya lembaga sertifikasi profesi yang memadai di tingkat daerah.
Bagi peserta magang yang tidak terserap industri, dia mengemukakan bahwa mereka bisa menggunakan ilmu untuk bekal berwirausaha. Terserap atau tidak terserap oleh perusahaan, menurut Bambang, memang tergantung kebutuhan dan ini tidak bisa dipaksakan.
"Pemerintah tengah menyiapkan kerangka insentif bagi perusahaan yang mau terlibat dalam program pemagangan nasional. Bentuknya berupa pengurangan beban pajak. Pembahasan dibawah koordinasi kementerian koordinator bidang perekonomian dan ditargetkan selesai tahun 2018," ujar Bambang.
Sejauh ini dia optimis pemagangan nasional ataupun bentuk pelatihan vokasional lainnya efektif meningkatkan kesesuaian ketrampilan yang dibutuhkan oleh industri. Kebijakan nasional tersebut juga Bambang sebut sebagai salah satu upaya mengatasi kesenjangan ketrampilan di era industri 4.0. Oleh karenanya, Kemnaker terus melanjutkan program hingga tahun 2019. Target perusahaan peserta sebanyak 5.366, sedangkan pekerja peserta 478.300 orang selama 2018 - 2019.
Pelatihan vokasional, sebagai upaya khusus untuk menyangga kesenjangan produktivitas tenaga terampil, efektif meningkatkan pengalaman kerja
Data Kemnaker menyebutkan, jumlah penduduk bekerja saat ini mencapai sekitar 127,06 juta orang. Sekitar 61,27 persen di antaranya berkeahlian rendah, 30,30 persen memiliki keahlian menengah, dan 8,43 persen mempunyai keahlian tinggi.
Director of Business Development Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Training Center, M Aditya Warman memandang, pelatihan vokasional sebagai upaya khusus untuk menyangga kesenjangan produktivitas tenaga terampil. Cara ini juga efektif untuk meningkatkan pengalaman kerja. Oleh karenanya, dia menyambut baik program pemagangan nasional yang digalakkan oleh pemerintah.
Meski begitu, dia menyarankan pemerintah agar segera mengembangkan cetak biru tentang pelatihan ataupun pendidikan ketrampilan dan kebutuhan industri. Tujuannya adalah mencetak tenaga kerja berkompeten dan berdaya saing untuk jangka panjang.
Presiden Direktur PT Inovasi Informatika Indonesia (perusahaan penyedia jasa pelatihan kerja), Ronny Christian, yang dihubungi secara terpisah, berpendapat, kegagalan transformasi digital terutama berasal dari faktor manusia. Selama memberikan pelatihan kerja untuk karyawan, perusahaannya banyak menemukan kasus pekerja yang sudah lama bekerja dan merasa terlalu nyaman di posisinya.
Lebih jauh, berdasarkan pengalamannya, Ronny menceritakan bahwa kecemasan terhadap perkembangan teknologi digital dialami oleh pekerja dari jabatan rendah sampai tinggi. Sejumlah karyawan yang pernah diwawancarai merasa, keahlian yang mereka miliki tidak akan berguna dalam kurun waktu dua - tiga tahun mendatang.
"Beberapa kalangan eksekutif juga mengungkapkan kecemasan yang sama," kata dia.
Perkembangan teknologi cukup pesat. Dalam setiap perkembangannya semakin mengintegrasikan dengan ilmu pengetahuan lain, seperti ilmuwan analisa data berukuran besar yang memerlukan latar belakang pendidikan matematika dan pengolahan data berukuran besar.
Capgemini melalui risetnya The Digital Talent Gap:Are Companies Doing Enough? yang menyasar ke 501 perusahaan di dunia, menemukan industri perbankan paling mengalami kelangkaan sumber daya manusia terampil di bidang teknologi informasi. Sektor berikutnya adalah produk konsumen dan ritel. Meski begitu, 50 persen dari responden perusahaan itu masih belum menganggap serius isu kelangkaan pekerja terampil bidang teknologi informasi.
Industri perbankan paling mengalami kelangkaan sumber daya manusia terampil di bidang teknologi informasi
Capgemini merupakan perusahaan konsultan jasa teknologi dan transformasi digital. Perusahaan konsultan ini berdiri sejak tahun 2001 dan berkantor pusat di Perancis.
Hasil riset itu juga menyebutkan 59 persen dari responden menyebutkan kelangkaan pekerja terampil terjadi di keahlian digital perangkat lunak (soft skill). Sementara 51 persen dari total responden mengaku kelangkaan pekerja terampil terjadi di keahlian digital perangkat keras (hardskill). Bentuk softskill yang paling banyak diminta adalah fokus pelayanan kepada konsumen dan hasrat untuk terus belajar. Adapun permintaan hardskill paling besar menyasar ke bidang keamanan siber dan penyimpanan data berbasis sistem komputasi awan.