JAKARTA, KOMPAS – Meski angka penyerapan masih rendah, penyaluran kredit pemilikan rumah subsidi berangsur normal. Pengembang optimistis dapat memenuhi suplai rumah sesuai rencana penambahan pemerintah asalkan regulasi dijaga.
“Untuk rumah subsidi bagi masyarakat berpenghasilan rendah baru sekitar 60.000 unit yang terserap. Memang sempat terjadi kevakuman karena ada masalah terkait spesifikasi rumah awal tahun lalu, sehingga baru normal mulai April sampai sekarang,” kata Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia Totok Lusida, Senin (16/7/2018), di Jakarta.
Penyaluran fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP) per 6 Juli baru 10.829 unit rumah atau sekitar 25 persen dari target 42.000 unit hingga akhir tahun. Sementara, pengembang rumah subsidi di REI memperkirakan sekitar 60.000 unit rumah subsidi yang sudah diserap hingga pertengahan akhir tahun ini. Selisih tersebut terjadi salah satu kemungkinannya karena perbankan belum menagih ke pemerintah.
Menurut Totok, suplai dan penyerapan rumah subsidi sangat bergantung pada regulasi pemerintah. Pasar pun selalu terbuka lebar karena pembeli adalah pengguna akhir yang membeli rumah untuk ditinggali. Maka, ketika terdapat perubahan regulasi, penyaluran kredit rumah subsidi pun bisa terkendala. Awal tahun lalu terdapat masalah terkait spesifikasi rumah sehingga akad kredit rumah tidak bisa dilakukan. Setelah ada kesepakatan antara pengembang dengan pemerintah, akad kredit kembali berjalan.
Terkait rendahnya penyaluran KPR subsidi dengan skema FLPP, lanjut Totok, hal itu disebabkan Bank Tabungan Negara yang sejak tahun lalu hanya menyalurkan KPR subsidi berskema subsidi selisih bunga (SSB), tidak FLPP. Data PPDPP mencatat, penyaluran FLPP pada 2017 sebesar 23.763 unit, turun dari tahun 2016 sebesar 58.469 unit. Sementara, skema SSB yang hanya disalurkan pada 2016 sebesar 124.737 unit dan pada 2017 naik menjadi 255.237 unit.
“Pengembang rumah subsidi kebanyakan adalah pengembang kecil dengan modal terbatas. Mereka tergantung regulasi dan akan menghabiskan stok dulu baru membangun baru,” ujar Totok.
Totok mengatakan, REI optimistis akan bisa memenuhi jumlah target pembiayaan FLPP tahun ini yang menurut rencana akan ditambah pemerintah dari 42.000 unit menjadi 72.000 unit. REI menargetkan membangun rumah subsidi sebanyak 250.000 unit hingga akhir tahun ini.
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman seluruh Indonesia (Apersi) Daniel Djumali mengatakan, persoalan spesifikasi rumah memang menjadi kendala penyerapan KPR subsidi di awal tahun ini. Namun demikian, penyerapan KPR subsidi juga tergantung kapasitas bank pelaksana.
“Untungnya rumah subsidi ini merupakan kebutuhan pengguna akhir sehingga akan selalu ada permintaan. Tahun ini kami targetkan bisa membangun sampai 130.000 unit. Kuncinya ada di regulasi,” ujar Djumali.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Lana Winayanti mengatakan, pembiayaan ada di sektor hilir dari industri properti. Sementara, rantai pasok industri properti cukup panjang, mulai dari pertanahan, tata ruang, bahan bangunan, perizinan, hingga tenaga kerja yang pengaturannya berada di otoritas yang berbeda-beda.
Dalam hal penyaluran KPR subsidi, kapasitas perbankan menjadi salah satu faktor penting. Dengan ikutnya Bank Tabungan negara, pemerintah berharap penyaluran akan lebih cepat. Sementara, kini pemerintah tengah mengkaji harga rumah subsidi untuk 2019.