Julukan sebagai induk industri yang disematkan pada industri baja menggambarkan peran sektor tersebut sangat penting bagi sektor industri lain. Dapat dikatakan, hampir semua sektor industri membutuhkan baja.
Merujuk data Kementerian Perindustrian, kebutuhan baja kasar di Indonesia nyaris 14 juta ton per tahun. Produksi dalam negeri baru mampu memenuhi 8 juta-9 juta ton per tahun. Alhasil, kebutuhan baja selebihnya masih harus dipenuhi dari luar negeri, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.
Peningkatan kapasitas produksi industri baja nasional digenjot melalui berbagai upaya. Salah satunya, melalui program membangun klaster industri baja 10 juta ton hingga 2025 di Cilegon, Banten. Sementara, dari sisi serapan, peningkatan penggunaan produk industri dalam negeri diupayakan melalui penerapan tingkat komponen dalam negeri (TKDN), misalnya di proyek-proyek infrastruktur. Sebagai gambaran, permintaan baja untuk kebutuhan infrastruktur dan konstruksi di dalam negeri sekitar 9,6 juta ton per tahun.
Selain persoalan pasokan dan permintaan di dalam negeri, muncul pula persoalan dari sisi eksternal. Kelebihan pasokan baja global, misalnya, berdampak pada harga baja yang menjadi tantangan tersendiri bagi daya saing industri baja dalam negeri.
Sejak awal, isu perang dagang Amerika Serikat dan China ikut mewarnai dinamika industri baja. Pengenaan tarif bea masuk produk baja impor hingga 25 persen ke AS dinilai akan berdampak langsung maupun tidak langsung.
Menurut Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia (IISIA), dampak tidak langsung tersebut, misalnya, terjadi penumpukan produk dari China atau negara lain yang sulit memasukkan baja ke AS karena kenaikan bea masuk. Persoalan akan muncul ketika kelebihan produksi baja tersebut membuat Indonesia disasar sebagai pasar yang relatif mudah dimasuki. Disamping itu, praktik pengalihan nomor sistem terharmonisasi (nomor HS) dari baja karbon ke baja alloy (baja paduan) menjadi persoalan yang masih perlu diperhatikan.
Sebagai perbandingan, impor baja karbon bisa dikenai bea masuk 15 persen. Di sisi lain, berdasarkan ketentuan yang berlaku di Indonesia dan di banyak negara, impor baja paduan dibebaskan dari bea masuk.
Tak urung praktik pengalihan nomor HS dari baja karbon ke baja paduan menimbulkan kerugian. Merujuk data Global Forum on Steel Excess Capacity di Argentina pada awal Juni 2018, praktik pengalihan nomor HS berdampak pada penutupan empat perusahaan besar baja di AS, puluhan di Eropa, dan lima di India. Hal serupa harus dihindari agar jangan terjadi di Indonesia.
IISIA menengarai, isu pertama terkait pengalihan nomor HS adalah kehilangan pendapatan bagi negara. Isu kedua menyangkut industri baja domestik yang mengalami persaingan akibat masuknya baja impor dengan harga lebih murah karena bebas bea masuk. Belum lagi, ketika ada negara tertentu memiliki kebijakan pemberian semacam insentif pemotongan pajak ketika mengekspor produk.
Salah satu yang diperjuangkan IISIA adalah kebijakan impor barang yang adil bagi industri baja dalam negeri. Peningkatan daya saing industri baja dalam negeri tak boleh ditinggalkan.
Tak pelak, perlu peran pemangku kepentingan untuk menjadikan baja produksi industri dalam negeri mampu kompetitif, baik di sisi mutu maupun harga. Tak kalah penting, penjagaan pasar di Tanah Air pun akan optimal jika ada komitmen penggunaan produk dalam negeri.